13. Problem Pre-Wedding

679 45 6
                                    

Aku mematut diri di depan cermin besar di dalam kamar, memperhatikan bahwa tidak adanya celah yang dapat merusak penampilanku hari ini. Di hari Minggu yang cerah ini, Ares dan keluarganya akan menemuiku dan juga orang tuaku. Rupanya dia benar-benar serius akan perkataannya, dia benar menginginkanku untuk menjadi istrinya.

Ku pegang dadaku, merasakan debaran jantung yang bekerja lebih pada tahap normal. Tentu saja aku nervous, ini pengalaman pertamaku. Seseorang yang sejak dulu aku cintai akan melamarku di depan kedua orang tuaku, memintaku untuk menemaninya menjalani kehidupan nanti.

Satu bulan setelah dinner malam itu, aku segera memberitahu semuanya pada kedua orang tuaku kemudian pada Alfa dan yang lainnya, mereka sangat gembira ketika mengetahui Ares akan menikahiku. Meski tidak langsung segera pulang, tetapi Ayah dan Bunda mengatakan mereka akan pulang dalam waktu dekat. Dan ternyata hari ini tiba, hari yang ku tunggu bersama laki-laki idamanku.

"Kau sangat cantik, Almyra." Pujian Kak Fania entah kenapa membuat jantungku semakin berdebar-debar. Tanganku berkeringat sampai harus saling bertautan.

"Oh tenanglah Almyra, jangan gugup seperti itu. Aku serius, kau memang cantik, seperti Bundamu. Dan tolong jangan rusak riasanku karena keringatmu." Ku ulas senyum yang membuat dua orang wanita cantik—Kak Fania dan Renata di hadapanku ikut tersenyum.

"Apa aku sudah terlihat siap?" Tanyaku penuh keraguan, aku takut akan terlihat aneh meski berkali-kali meyakinkan diri dengan bercermin.

"Sangat siap! Oh Tuhan, kenapa bukan aku duluan yang merasakan saat seperti ini?" Aku tertawa kecil melihat ekspresi lucu dari wajah Rena.

"Mungkin setelah Almyra, aku yang akan merasakan moment seperti ini." Kak Fania ikut berharap seperti Rena dan membuatku kembali tersenyum.

"Aku berharap semoga kalian ikut merasakan apa yang aku rasakan. Kita akan bahagia." Dua gadis cantik yang mengenakan kebaya berwarna kuning di hadapanku saling menggenggam tanganku, kami saling tersenyum dan berpelukan.

"Tentu. Kau dan Ares akan bahagia, Almyra."

"Ehm... Maaf aku menginterupsi obrolan seru kalian." Kami bertiga menoleh ke arah pintu kamarku ketika mendengar suara dehaman. Kedua orang tuaku berdiri disana, Bunda tampak cantik mengenakan kebaya berwarna silver dengan rambut yang di sanggul rapih sementara Ayahku tampak gagah dengan setelan jas hitam yang dikenakannya.

"Oh tidak apa Om Vano, kami memang akan segera keluar." Rena bersiap merapihkan alat make up yang tadi di gunakan dengan bantuan Kak Fania secepat mungkin kemudian segera berpamitan, memberikan ruang untuk aku menikmati moment bersama kedua orang tuaku.

"Permisi." Dan mereka benar-benar keluar dari kamarku.

Ayah dan Bunda menghampiriku yang kini tengah duduk di tepian ranjang. Senyuman paling manis yang pernah ku lihat memang hanya milik Bunda, wanita yang telah melahirkanku itu menatapku penuh haru dan berkaca-kaca. "Kau akan meninggalkan kami, Almyra."

"Jangan berkata begitu, Bunda. Kalian tetap orang tuaku, aku tidak akan kemana-mana." Ujarku berusaha menenangkan Bunda yang mulai terisak.

"Ares akan melamarmu dan sebentar lagi kami akan melepasmu untuk hidup bersama suamimu. Kamu," Bunda mengikutiku duduk di tepian ranjang dan tangan halusnya memegang wajahku membentuk bingkai. "kamu akan tetap menjadi putri kecil kami, Almyra, sampai kapanpun." 

Aku merasakan sebutir air mata lolos membasahi pipiku. "Dan kalian akan tetap menjadi orang tuaku yang over protective. Walaupun begitu aku akan tetap mencintai Ayah dan Bunda lebih dari apapun. Aku sayang pada kalian." Bunda menarikku dalam pelukannya sambil terisak di bahuku. Ku usap punggungnya lembut berharap mampu menenangkannya sementara di balik punggung Bunda, Ayah tersenyum padaku sambil mengacungkan jempolnya. Aku melihat setitik air mata membasahi kedua mata Ayahku yang kemudian Ayah hapus sambil tertawa kecil.

Simplicity of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang