Empat

59 5 0
                                    

"Kondisi jantungnya sudah semakin parah. Bahkan jika dilakukan operasi, saya ragu hal itu akan berhasil." Seorang dokter berucap.

Sepasang suami istri yang duduk di depannya hanya bisa pasrah saat mendengar kondisi putra mereka.

Sementara itu, puteranya yang sedari tadi duduk di samping orang tuanya hanya diam mendengar ucapan dokter itu.

"Lalu apa yang harus kami lakukan?" tanya ibunya.

"Kita bisa saja melakukan operasi, hanya saja risikonya terlalu besar. Berdoa saja kepada Tuhan agar semuanya berjalan dengan lancar," jawab sang dokter.

"Rav, kamu mau kan melakukan operasi itu?" tanya sang ibu kepada putranya, yang tidak lain adalah Raven.

Pria itu hanya menunduk, menatap lantai rumah sakit. Hingga beberapa detik kemudian dia mengangkat wajahnya dan menatap Dokter Han.

"Saya akan melakukan operasi itu. Tapi beri saya waktu 1 minggu. Masih ada hal yang harus saya lakukan. Setelah itu, saya akan melakukannya."

Dokter itu tampak mempertimbangkan permintaan Raven. Pasalnya, jantung miliknya sudah dalam kondisi yang sangat parah dan harus secepatnya dilakukan operasi.

"Satu minggu? Tapi Rav—"

"Baiklah, tapi kau harus selalu meminum obat dan selalu menjaga kondisi tubuhmu." Ucapan Dokter Han sukses memotong ucapan ibunya Raven.

"Terima kasih, Dok."

"Kau yakin?" tanya Ayahnya begitu mereka keluar dari ruangan Dokter Han.

Raven mengangguk. "Satu minggu bukanlah waktu yang lama. Aku pasti akan baik-baik saja."

"Baiklah jika itu maumu. Kalau begitu sebaiknya sekarang kita harus pulang," ucap ibunya.

"Kalian duluan saja. Aku harus ke toilet dulu."

"Baiklah."

Kedua orang tuanya pun begegas pulang. Sementara Raven pergi ke toilet.

****

"Tolong hubungi saya jika Anda sudah menemukan donor yang cocok untuk adik saya."

"Baik. Saya pasti akan langsung menghubungi Anda lagi."

"Terima kasih, Dok. Kalau begitu saya pamit dulu."

Orang itu pergi dari sebuah ruangan.

Arkan.

Dia pergi ke rumah sakit untuk mencari donor mata untuk adiknya. Meskipun dokter berkata kalau hanya ada kecil sekali kemungkinan untuk adiknya sembuh, tapi ia yakin kalau penglihatan adiknya bisa pulih kembali seperti semula.

Saat ia berjalan melewati koridor rumah sakit. Pandangannya teralih kepada seseorang yang tengah berjalan tidak jauh dari posisinya.

'Raven? Sedang apa dia disini?'

Tiba-tiba ponselnya berdering tanda panggilan masuk.

"Tuan! Nona Ana ... "

Tanpa pikir panjang Arkan lari secepat mungkin keluar rumah sakit menuju mobilnya. Begitu mesin mobil menyala, ia langsung menginjak gas dan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju ke rumahnya.

Kurang dari 15 menit ia sampai di rumahnya. Ia bahkan memarkirkan mobilnya asal dan dengan tergesa-gesa ia melepaskan sabuk pengaman dan langsung berlari keluar.

Begitu masuk kedalam rumah, ia langsung menemukan asisten rumah tangganya yang tengah mengobati tangan kanan adiknya di dapur. Sesekali Ana nampak meringis menahan sakit.

"Apa yang terjadi?" tanyanya panik dengan napas tersengal.

"Dia terjatuh dan tangannya terkena pecahan piring." Asisten rumah tangganya berucap sambil menunduk. Ia tidak berani menatap Arkan.

"Sudah kubilang jaga dia dengan baik!!!" bentak Arkan.

Mendengar itu, Ana segera mencari tangan Arkan dengan tangan kirinya.

"Bibi tidak salah. Tadi aku hanya ingin menyimpan piring di rak, tapi malah terpeleset," ucap Ana.

"Harusnya kau meminta bantuan pada Bibi!!" bentak Arkan lagi.

"Tadi Bibi sedang membersihkan halaman rumah. Sudahlah, aku baik-baik saja. Ini hanya luka ringan."

Arkan menatap tangan Ana. Tangannya masih agak berdarah. Dilihatnya ada bekas pecahan-pecahan kaca yang menancap di telapak tangannya.

'Luka ringan apanya?' batin Arkan.

"Aku akan memanggil dokter."

"Tidak perlu. Bibi sudah mengeluarkan semua pecahannya."

"Bagaimana jika masih ada yang bersarang di dalam?!"

Adiknya tersenyum. Rupanya benar apa yang dikatakan Raven. Kakaknya begitu perhatian padanya.

"Sudah tidak ada." Ana meyakinkan.

Saat asisten rumah tangganya hendak memperban tangan Ana, Arkan langsung menghentikannya.

"Biar aku saja yang melakukannya. Sebaiknya Bibi membersihkan pecahan piringnya," ucap pria itu.

"Baik, Tuan."

Kemudian pembantunya segera membersihkan pecahan piring yang belum sempat dibersihkan.

"Maaf membuat waktumu terbuang."

"Tidak. Tadi aku sedang berada di rumah sakit." Arkan berujar sambil membalutkan perban di tangan adiknya.

"Rumah sakit? Untuk apa Kakak ke sana?"

"Mencarikan donor untukmu."

Ana terkejut. Sebegitu pedulinya kah Arkan padanya?

"Kau tidak perlu melakukannya. Dokter bilang—"

"Kalau belum dicoba belum tahu. Aku yakin kau bisa melihat lagi. Dokter berkata hanya ada kemungkinan kecil. Itu artinya masih ada kesempatan." Sudut bibir Arkan tertarik pelan. "Oh, iya. Tadi saat di rumah sakit, aku bertemu dengan Raven."

"Raven? Kenapa dia ada di sana? Apa dia sakit?"

"Entahlah. Tapi tadi kulihat dia baik-baik saja."

'Untuk apa dia ke rumah sakit?'

"Selesai. Kau yakin tidak ingin kupanggilkan dokter?"

Ana menggeleng pelan.

"Tidak perlu. Terima kasih."

Arkan hanya tersenyum dan kemudian mengacak puncak kepala adiknya pelan.


◦•●◉✿ 𝐁𝐞𝐫𝐬𝐚𝐦𝐛𝐮𝐧𝐠 ✿◉●•◦

Aster : Love Speaks in Flowers✔Where stories live. Discover now