Tiga

59 6 1
                                    

Keesokan harinya saat Arkan hendak pergi ke kantor ayahnya, ia melihat Ana tengah sibuk meraba-raba permukaan lantai. Seperti tengah mencari sesuatu.

"Apa yang sedang kau lakukan?"

"Tadi aku jatuh, dan tongkatku sepertinya terlepas dari tanganku. Kurasa terjatuh disekitar sini, tapi dari tadi aku tidak menemukannya."

Mendengar jawaban adiknya, Arkan sedikit mengernyitkan dahi. Ia melihat tongkat itu berada tidak jauh dari posisi Ana.

Dengan perlahan dia menggeser posisi tongkat itu agar lebih dekat dengan Ana.

"Ah, ini dia." Gadis itu tersenyum saat mendapati tongkatnya. Ia langsung berdiri.

"Apa kau mau ke kantor?" tanyanya kemudian.

"Ya, hanya sebentar. Sekedar mengecek keadaan di sana. Dari mana kau tahu?"

"Kau wangi, tidak seperti biasanya."

"Jadi maksudmu biasanya aku bau?" Bibir Arkan tampak mengerucut.

Adiknya tertawa pelan.

"Tanpa kujawab pun kau sudah tahu jawabannya."

"Hei!!" Seru Arkan tidak terima. Bagaimanapun, secara tidak langsung ia dikatakan bau oleh adiknya.

"Aku penasaran bagaimana wajahmu sekarang. Apa wajahmu masih tampan? Rasanya sudah lama sekali aku tidak melihat wajahmu."

"Wajahku tidak tampan, hanya saja diluar sana banyak gadis-gadis yang tertarik padaku," ucap Arkan dengan percaya diri.

"Jika itu benar, aku merasa kasihan pada mereka."

"Hei, apa maksudmu?!" Kakaknya memprotes.

"Sudahlah, aku hanya bercanda. Sekarang pergilah. Bukankah kau mau ke kantor?"

"Baiklah, Aku pergi. Jaga dirimu baik-baik." Arkan sambil mengacak rambut adiknya pelan dan berlalu.

Sepeninggal orangtuanya, bisnis ayahnya diteruskan oleh Arkan dengan dibantu oleh pamannya. Selama Arkan pergi, Ana hanya ditemani seorang asisten rumah tangganya di rumah. Kakaknya selalu menitipkan Ana padanya, takut-takut terjadi sesuatu pada adiknya.

Dengan menggunakan tongkatnya, Ana pergi keluar mencoba menghirup udara segar. Saat ia sampai di halaman rumahnya, ia merasa tubuhnya menghangat.

"Sepertinya hari ini cuacanya cerah," gumamnya.

"Hai," sapa seseorang.

Dahi gadis itu berkerut. Ia mencoba mencari sumber suara. Sepertinya ia mengenal suara itu.

"Raven?"

"Kau masih mengenaliku rupanya." Pria itu tersenyum. Begitupun Ana.

"Hei, ayo duduk di sana," tunjuk Raven kesebuah bangku yang letaknya tidak jauh dari posisinya.

Namun baru saja beberapa langkah ia berjalan, ia kembali berbalik. Ia menepuk dahinya. Ia lupa kalau Ana tidak bisa melihat.

Ia langsung menarik pelan lengan Ana dan menuntunnya untuk duduk di bangku itu.

"Aku minta maaf soal sikap kakakku kemarin. Biasanya ia tidak bersikap seperti itu."

"Tidak apa-apa. Aku bisa mengerti, kemarin ia pasti khawatir padamu."

"Sebelum keadaanku seperti ini, biasanya ia tidak se-protective itu. Bahkan sekarang aku harus selalu meminta izin darinya setiap kali ingin pergi keluar."

"Kau harusnya bersyukur. Itu artinya ia peduli padamu." Ucap Raven. Bersamaan dengan itu, ia merasakan sakit di dada sebelah kirinya, kedua alis pria itu bertaut menahan sakit.

Aster : Love Speaks in Flowers✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang