18

610 103 12
                                    

5 hari kemudian...

Mataku terpaku pada keindahan langit di malam hari ini. Hujan tidak datang malam ini. Untung saja. Kalau tidak, aku mungkin tidak berada di sini.

"Bintang-bintang itu cantik. Tapi sayang, satu bintang menghilang," ucap Calum tiba-tiba.

Aku menoleh. "Maksudmu?"

"Iya. Coba kau hitung bintang di atas sana, pasti kurang satu. Kau tau tidak bintang yang satu lagi ke mana?" tanyanya menoleh kepadaku.

Aku menggeleng sebagai jawaban.

"Bintang yang tercantik di antara seluruh bintang sudah jatuh. Jatuhnya disini, di sebelahku."

Aku tersenyum geli mendengar ucapannya barusan. "Konyol sekali sih! Kau ini tidak bakat menggombal, tahu tidak?"

Dia hanya terpingkal menanggapi ucapanku barusan. Selang beberapa saat kemudian, ketika suara tawanya reda, kami kembali membisu.

Aku diam memikirkan sesuatu dan dia diam entah memikirkan apa. Yang jelas, sedaritadi senyuman manisnya itu tidak pernah luput dari wajahnya.

Ah Tuhan, entah sampai berapa lama lagi aku dapat melihat senyuman itu.

"Calum?" panggilku memecah keheningan.

Ia menoleh. "Yes, Kar?"

"Aku ingin berdansa."

"Tapi kita sedang tidak di arena berdansa. Lagipula, handphoneku ketinggalan di kamar. So, kita tidak punya lagu untuk diputar."

"Tak apa. Biar rumput ini menjadi dance floor kita dan angin menjadi lagu kita. Please, Cal? Hanya untuk kali ini saja aku berjanji!" ucapku dengan memohon.

Calum diam sebentar seraya menatapku dalam. Kurasa, lelaki ini sedang berpikir. Lalu, beberapa saat kemudian ia mengangguk dan berdiri.

Calum membantuku berdiri dari kursi rodaku dengan kedua tangannya. "Kau bisa berdiri?"

"Puji Tuhan, kakiku masih berfungsi, Cal," ucapku sarkas.

Ia terkekeh pelan. Tangan kekarnya memeluk pinggangku erat. Lantas, kutaruh lenganku diatas pundaknya lalu memeluk lehernya.

Aku tersenyum. Mengikuti irama gerakan Calum. Kepalaku kusenderkan diatas dada bidangnya. Ya Tuhan, tidak ada yang kubutuhkan selain kenyamanan seperti ini.

"I love you, Cal."

"I know, Kar. I know."

"I love you, Cal," ucapku lagi.

"Iya, aku tahu."

"I love you, Cal," lagi, aku mengucapkannya.

"Kau sudah mengatakannya 3 kali, Kara. Dan jika kau mengatakannya sekali lagi--"

"I love you, Calum," ucapku lagi dan lagi.

Seraya terkekeh pelan, Calum langsung mencium bibirku lembut. Tidak lama. Karena beberapa detik kemudian ia kembali melepaskannya.

"I love you too, Kara. I really do."

Aku tersenyum. Semakin kudekatkan kepalaku ke dadanya. Mendengarkan suara detak jantungnya yang seakan menjadi lagu untukku.

"What's wrong with you, Kara?"

Aku menggeleng. "Bagaimana jika bintang jatuh itu kembali ke tempat asalnya? Apa kau akan sedih?"

"Akan kuusahakan berbagai cara agar ia tidak kembali. Namun, kalau memang sudah waktunya untuk kembali aku akan mencoba untuk merelakannya."

Aku tidak lagi berbicara. Aku hanya tersenyum di dalam dekapannya seraya menahan sakit yang teramat di seluruh tubuhku.

Entah apa yang terjadi, tiba-tiba aku merasa sesak. Aku tidak bisa bernafas. Kutarik kepalaku dari dadanya dan mencoba untuk bernafas dengan normal.

Tidak.

Sangat susah.

"Kara, breath, Kara. Breath!"

Aku menggeleng pelan. Aku tidak bisa, Calum.

Melihat keadaanku seperti ini, tanpa disuruh Calum langsung membopongku dan berjalan terburu-buru masuk ke dalam rumah sakit. Masih dapat kudengar dengan samar Calum meneriaki suster maupun dokter secara bergantian dengan frustasi.

Dan setelah itu, aku tidak tau lagi apa yang terjadi.

***

Hai guys! Mungkin 1/2/3 part lagi cerita ini bakal ending. Yey! Akhirnya cerita ini nggak jamuran lagi ngehehhee.

Iya makin gajelas. Makanya nggak usah dibaca.

Cigarette || c.hWhere stories live. Discover now