13

717 126 7
                                    

Calum's POV

Aku mendengarkan dengan seksama apa yang dikatakan dokter dihadapanku. Dalam hati aku merutuki Kara yang berbuat ceroboh seperti ini.

"That's all you have to remember. Ingat, jaga kesehatan dia. Jauhi dia dari rokok maupun benda-benda lain yang dapat membahayakan kesehatannya. Seperti yang saya katakan tadi, bisa besar kemungkinannya Kara dapat menderita penyakit mematikan itu."

Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Aku tidak tahu lagi ingin membalas apa. Masalahnya, aku tidak tahu apa-apa tentang Kara. Yang kutahu, dia hanyalah gadis perokok aneh yang menyukaiku dan melakukan segala hal untuk mendapatkan perhatianku.

Setelah mengucapkan terima kasih kepada dokter dan berpamit untuk keluar. Aku langsung menghubungi satu nama, Lea.

"Halo Calum? What's up?" tanyanya diujung sana.

"Aku tidak mau lagi ikut dalam rencana murahanmu itu."

"What babe? I can't hear you."

"Aku tidak mau ikut lagi dalam rencanamu itu, Lea! Tidakkah kau puas dengan apa yang kau lakukan selama ini padanya?"

"Ah Calum sayang, kau tidak bisa berhenti begitu saja. Kita sudah hampir sampai dipuncaknya. Aku tidak ingin semuanya berhenti sia-sia. Dan ya, aku memang belum puas menyiksanya."

"Mau sampai kapan, Lea?" tanyaku dingin. Kesal juga lama-lama.

"Sampai dia mati."

"Kau gila! Apakah akalmu sudah hilang? Kau ingin membunuh seseorang karena dendammu itu?"

"Ya. Memang kenapa? Salah, ya?" tanyanya diujung sana diselingi tawa khas miliknya.

Aku berdecak sebal. "Terserah kau saja. Intinya, aku tidak ingin ikut campur lagi. Sudah cukup."

"Tidak! Kau tidak bisa -"

Langsung saja kuputus sambungan telponnya dan memasukkan kembali handphoneku kedalam kantung celanaku. Aku mengerang kesal.

Tidak! Lea tidak boleh mengganggu Kara lagi!

Aku berjalan dengan cepat ke ruang inap Kara. Sampai didepan kamarnya, aku berhenti sebentar. Kuhembuskan nafasku pelan dan membuka pintu kamarnya. Di dalam, gadis itu tengah terbaring lemah. Bahkan, bernafas saja dia membutuhkan tabung oksigen itu.

Aku menghampirinya dan duduk disebelah kanannya. Matanya tetap tertutup. Nafasnya mengalun pelan. Sudah 2 hari setelah kejadian ditaman itu ia tidak sadarkan diri.

Kejadian ditaman itu...

Dapat kuingat dengan jelas, ketika aku sedang membuntutinya -iya, karena Lea aku mau melakukan ini, aku menemukannya tergeletak tak sadarkan diri dengan berbatang-batant rokok masih menyala dimulutnya. Dengan sigap pula aku langsung membawanya kerumah sakit dan sampai sekarang, ia juga tidak kunjung sadar.

"Kara," panggilku pelan. Berharap ia akan membalas atau apalah.

"Bangunlah, Kar," kataku seraya menggenggam tangannya erat. Entah mengapa air mata mengalir begitu saja dari mataku.

Mengapa aku menangis? Aku bahkan dulu menyakitinya.

"Maafkan aku, Kar, jika aku pernah membuat hatimu sakit. Sebenarnya, aku tidak bermaksud melakukan itu. Aku hanya tidak ingin kau menjadi bahan ejekan anak sekolahan karena memberikan segala perhatianmu padaku. Aku hanya ingin kau membenciku dan menjauhiku. Sungguh, aku tidak bermaksud kasar. Maafkan aku, Kar."

Kali ini tangisku semakin pecah. Astaga, apa sebenarnya yang terjadi padaku? Mengapa aku menangis seperti bayi sekarang?

Aku mengusap pelan punggung tangannya dan membuat pola lingkaran dengan salah satu jariku. Kubiarkan air mataku turun begitu saja.

Aku berjanji akan menjagamu dari orang-orang yang ingin menyelakaimu. Sungguh. Akan kusakiti balik jika ada yang mencoba menyakitimu.

Dan, aku akan dengan sangat ikhlas jika kau membutuhkan bahuku untuk menjadi senderanmu. Jika kau membutuhkan seseorang untuk mendengarkanmu, aku akan selalu siap.

Maka, bangunlah, Kar.

Cigarette || c.hTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang