10

1.2K 189 5
                                    

Aku hanya menatap kosong kearah sepatuku yang tengah berjalan. Pikiranku sama kosongnya. Entah apa yang sedang kupikirkan, tahu-tahu air mata lolos berhasil terjatuh dikedua pipiku. Shawn seakan tahu bahwa aku sedang menangis, ia langsung menarikku untuk berhenti dan langsung memelukku tanpa mengatakan sepatah katapun.

Aku terpaku. Tidak membalas, tidak juga melepaskan. Shawn semakin mengeratkan pelukannya ditubuhku, seakan menyalurkan setitik tenaga untukku.

Hangat.

Tenang.

Kedua hal itu yang kurasakan ketika Shawn memelukku saat ini. Seakan, dengan pelukannya, Shawn mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja.

Beberapa saat kemudian, ia melepaskan pelukannya dan menatapku kasihan. Tidak! Jangan tatap aku dengan tatapan itu! Aku tidak suka ditatap seperti itu. Seakan, aku ini memanglah manusia malang yang perlu dikasihani.

"You can tell me everything, Kar. Everything." Katanya.

Aku hanya menatapnya kosong. Tidak beraksi apa-apa karena aku sendiri bingung ingin melakukan apa-apa. Akhirnya, yang kulakukan hanyalah menghela nafasku berat dan menggelengkan kepalaku. Kukuatkan diriku untuk memberikan senyuman terbaikku padanya walau kutahu pasti gagal.

"Jangan berikan senyuman palsumu itu padaku. Tidak akan mempan."

Aku kembali menghela nafasku dan kembali berjalan. Kudengar dengusan Shawn dibelakang sana namun masa bodoh lah! Aku ingin sendiri.

Shawn sedikit berlari untuk mensejajarkan langkahnya denganku. Lalu dengan satu gerakan, ia langsung menarikku dan menyuruhku untuk duduk disalah satu bangku ditaman ini.

Ah, bahkan aku baru tahu aku sedang ada ditaman.

"Duduklah," suruhnya.

Aku menurut. Shawn duduk disebelahku. "Apa yang membuatmu nekat melakukan aksi bunuh diri itu, Kar?" Tanyanya dengan tatapan seriusnya.

Aku menatapnya lekat-lekat. Berusaha untuk menemukan jawaban dari pertanyaan yang timbul selama aku berada didekatnya, apakah dia benar-benar tulus atau itu hanyalah sebuah topeng?

"They said time heals. They lied." Ucapku pada akhirnya.

Shawn mengernyitkan dahinya bingung. "Maksudmu?"

"Iya. Kata mereka, waktu akan menyembuhkanmu. Waktu akan menyembuhkan segala lukamu. Tetapi, menurutku, itu hanyalah omong kosong belaka."

"Mengapa menurutmu seperti itu?"

Aku diam sesaat. Menatap pohon-pohon didepanku. "Iya. Jika memang benar waktu akan menyembuhkanku, lantas, mengapa aku masih terluka? Mengapa waktu tak pernah menyembuhkanku?"

"Belum saatnya, Kar. Belum saatnya."

"Apanya yang belum saatnya? Sudah hampir belasan tahun aku berada didunia, yang kudapat hanyalah sebuah luka. Tidak ada yang lain. Mengapa rasanya, aku ini manusia menyedihkan, ya?" Kataku diselingi tawa mengejek. Iya. Aku mengejek diriku sendiri.

Shawn menghela nafasnya pelan. Ia menatapku lekat-lekat, "aku tidak tau apa masalahmu sebenarnya. Tetapi, tidak. Kar, kau bukanlah satu-satunya orang yang sedang berjuang. Tidak. Kau, dan ribuan orang disana juga sedang berjuang mempertahankan apapun. Dan dirimu, kau sedang mempertahankan dirimu sendiri. Patutkah dirimu bertahan atau tidak. Patutkah kau terus berjuang atau tidak. Patutkah kau masih bisa berdiri tegap ketika diterjang ombak besar. Kara, jalani saja semuanya dengan apa adanya. Biarkan waktu yang berbicara kepada takdir kapan ia pantas untuk menjalankan aksinya."

Aku menatapnya penuh amarah ketika mendengar perkataannya. Aku menggeleng kuat-kuat, "tidakkah kau mengerti sedikitpun, Shawn?! Tidakkah kau mengerti bahwa aku lelah dengan semua ini! Aku lelah! Tidakkah kau mengerti bahwa aku telah kalah telak dalam permainan takdir dan waktu ini?! Ah, kurasa percuma saja, kau juga tidak akan mengerti apapun yang kurasakan. Karena, kau bahkan jauh lebih beruntung dariku."

Shawn membalas tatapanku kemudian tersenyum sendu. Sial. Aku salah bicara!

"Apakah menurutmu, kehilangan kedua orangtuamu dikalah kau benar-benar membutuhkan mereka untuk berada disisimu untuk menghadapi dunia yang sebenarnya  adalah sesuatu yang jauh lebih beruntung? Jika iya, kau salah besar, Kar. Aku merasa hampa ketika mereka tiada. Aku merasa kosong. Tidak akan ada lagi yang mendengarkan keluh kesahku ketika mereka selalu menggangguku. Bahkan, ketika aku didepak dari sekolahku yang bahkan bukan karena kesalahanku, aku harus memendamnya sendiri."

Shawn berhenti sebentar untuk menghela nafasnya, "kalau saja bukan karena adik kecilku itu, mungkin aku tidak tahan dengan segala beban yang kupanggul ini."

Aku hanya diam tidak menjawab. Aku menatap kosong kearah sepatuku. Memikirkan ceritanya tadi.

"Kau hanya butuh seseorang untuk menjadi sandaranmu, Kar. Don't give up the fight. Dan jika mau, aku akan dengan senang hati ingin menjadi temanmu."

---

Hai, lama banget ya gue gak apdet cerita ini:')) q ingin menangos grgr sempat ngestuck hue. Terus udah masuk SMA dan gue harus menyesuaikan diri dengan lingkungan. Nangos hu.

Intinya gue usahain tetep lanjut ya. Ok ok.

Cigarette || c.hTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang