25. Ending

1.2K 242 100
                                    

"Halo?"

"Ya?"

Becca memejamkan matanya sebentar, "Gue butuh ketemu sama lo, Cal."

"Oh. Di mana?"

Becca tersenyum kikuk, "Di café Holidays aja ya Cal."

"Oke. Jam 11 siang aja, kalau sore gue ada latihan futsal."

Becca mengangguk-angguk, "O---"

Tut. Tut.

Becca menghembuskan napasnya pelan, "Ke," melanjutkan perkataannya yang sempat terputus.

Becca menatap kamarnya yang sudah hampir kosong, Ia memperhatikan ke seluruh kamar. Lalu kepalanya mendongak untuk menahan air yang akan jatuh dari pelupuk matanya.

Sikap Calum yang menghilang secara tiba-tiba membuat rasa kepercayaan Becca memudar, kebohongan Calum bisa dibilang malapetaka untuk Becca. Becca sudah terlanjur menceritakan semua masa lalunya dengan Calum, dan setelah itu Calum menghilang tanpa kabar.

Bukan Becca namanya jika Ia tidak berpikir negatif tentang kehilangan Calum secara tiba-tiba. Haruskah Ia kembali membenci Calum?

"Bec," terlalu lama melamun Becca tidak menyadari kakaknya masuk ke dalam kamarnya. Becca menatap Niall dengan penuh tanda tanya.

"Jangan lupa bawa obat lo, ya," ujar Niall. Becca hanya mengangguk lalu tersenyum tipis.

Niall menyunggingkan senyumnya sebelum keluar dari kamar Becca. Becca menggenggam ponselnya erat, menahan rasa sakit yang ada di dalam hatinya.

Hancur sudah semua kebahagiaan Becca jika Calum kembali membohonginya, ini tentang harga diri. Calum tidak bisa menceritakan masa lalunya kepada siapapun. Setidaknya Calum sudah berjanji untuk menjaganya.

Namun, sekarang Calum malah terkesan menghindari Becca. Haruskah Becca memutar waktu kembali dan menarik semua ceritanya agar Calum tidak menjauh darinya?

Haruskah?

Saat yang ditunggu-tunggu pun tiba, setetes air matanya melesat dari pelupuk mata, membasahi pipi gadis itu. Dengan cepat, Becca menghapusnya.

Air matanya selalu terjatuh saat otaknya memikirkan Calum. Becca masih bingung, apakah dia mencintai Calum?

Becca menelungkupkan tubuhnya lalu menenggelamkan wajahnya pada bantalnya. Meredam isakan tangisnya.

Meninggalkan rumah tercintanya, siapa yang tidak sedih?

Kemarin, ada seorang rentenir yang memaksa Niall untuk meninggalkan rumah peninggalan orang tuanya. Rentenir itu berkata bahwa ada seseorang bos kaya yang ingin membeli rumah mereka.

Apakah Becca ikhlas?

Tentu saja tidak. Rumah tersebut adalah satu-satunya peninggalan dari kedua orang tuanya. Becca tidak bisa mengikhlaskan begitu saja.

Tapi, apa boleh buat? Dia hanyalah seorang pelajar yang tidak mengerti apa-apa, tidak bisa melawan maupun menghancurkan rencana orang tersebut.

Hari ini adalah hari terakhir Becca berada di dalam rumahnya, dengan berat hati dan sangat terpaksa, Becca harus mencari kontrakan untuk Ia tinggali.

Bos kaya tersebut membayar rumah mereka dengan harga tinggi, tapi Becca tidak butuh uang. Dia butuh rumah itu. Dengan cara seperti itu, harga dirinya seakan diinjak-injak oleh bos kaya tersebut.

Persetan dengan harga diri, dia masih menginginkan tinggal lebih lama di rumahnya.

Tapi, seperti pertanyaan sebelumnya. Apa boleh buat?

-M U S U H-

Becca menyeruput espresso hangatnya dengan wajah datar. Kopi yang selalu menemaninya dikala sedih.

"Espresso itu pahit, nak. Papa biasa meminumnya jika papa sedang sedih, karena espresso ini seakan mengerti keadaan papa yang sedang bersedih. Espresso ini bisa dijadikan teman jikalau kamu sedang bersedih. Tapi anak papa jangan sedih terus, ya?"

Perkataan sang papa melesat masuk ke dalam ingatan Becca. Ia tersenyum miris,

"Iya pa, papa bener," jawabnya lirih. Becca melirik arlojinya lalu mendecak.

"Calum bohong, ya? Kok jam segini belum sampe?"

"Nggak kok, gak bohong."

Becca terlonjak kaget, lalu Ia membalikkan tubuhnya, dan ternyata sudah berdiri Calum di belakangnya.

Becca hampir mengutuk Calum karena telah mengejutkannya.

Calum duduk di seberang Becca, lalu tersenyum tipis, "Jadi, ada apa?"

Becca meringis, bahkan dia belum sempet pesan minuman.

Becca bergumam, "Hmmm... lo gak pesen minum dulu?"

Calum menghela napas lalu mengangguk. Memanggil pelayan dan memesan secangkir caramel macchiato.

"Udah. Jadi, kenapa lo panggil gue?"

Becca berdeham, tangannya saling menaut, bibirnya kelu untuk berbicara sepatah kata pun.

Haruskah Ia mengutarakan perasannya?

Calum menatap Becca tidak mengerti, bibirnya terkatup rapat, matanya tajam bagai belati.

"Bec?" tegur Calum yang merasa terabaikan.

Becca menatap Calum dengan mata berkaca-kaca, tidak punya kalimat untuk mengutarakan perasaannya pada Calum.

Calum menatap mata Becca dengan alis yang terangkat, bingung dengan perilakunya, "Kenapa? Ada apa?"

Becca menghapus air matanya dengan punggung tangan, lalu memaksakan senyum, "Makasih buat sebelumnya, ya."

Calum mengernyitkan dahinya, "Untuk?"

Becca mengangguk, "Untuk semuanya. Semua yang lo lakuin buat gue."

"Hah? Maksudnya?"

Becca menatap manik Calum dengan sangat lembut, membuat matanya kembali perih dan berair, tapi kali ini dia membiarkan air matanya jatuh begitu saja.

"Lo... eh... maksud gue, lo udah..." Becca tercekat, tenggorokannya perih, "Lo masih ada rasa sama Sheryl?"

Calum diam, rahangnya mengeras, lalu kembali menjawab, "Udah gak."

Becca mengedipkan matanya, menatap Calum dengan perasaan senang.

"Tapi... Karen udah ambil alih hati gue," lanjut Calum.

-M U S U H-

sampai jumpa pada sequel ♡ eh tapi gataw juga sih ada sequel apa gak.

Musuh × cthWhere stories live. Discover now