Bagian 10 : Bantuan

8.6K 1.1K 13
                                    

Pria bebal itu benar-benar pergi. Sudah seminggu lamanya sejak pria berinisial L itu muncul dari jendela kamarnya, setelah itu ia tak pernah mendengar kabarnya lagi. Kedua orangtuanya maupun Tante Laras tak pernah mengungkit-ungkit perihal pria yang-namanya-tak-boleh-disebut di depannya. Bintang sendiri terlalu gengsi untuk sekedar bertanya tentang keberadaan pria yang telah meremukkan hatinya.

Akhir-akhir ini Bintang sering menangis tanpa sebab dan itu membuatnya kesal setengah mati. Bintang memaksa dirinya berhenti bersikap galau dan kembali melakukan aktivitas seperti biasa walau dengan setengah hati.

Saat ini, Bintang tak terlalu tertarik lagi dengan aktivitas ke-rumahtangga-an atau keputrian yang selama ini dia tekuni dengan senang hati. Ia merasa trauma. Bintang memilih menutup diri hanyut dalam kegiatan melukisnya dan berdalih untuk relaksasi diri padahal nyatanya untuk melarikan diri dari rasa malu kepada orangtuanya akibat ulah seorang pria berinisial L yang -katanya- mau menikahinya tetapi malah kabur menghindarinya.

Tepat pada hari kesepuluh paska kepergian pria yang namanya enggan Bintang sebut, rupanya Mamanya yang khawatir mengirimkan bala bantuan.

"Hello Star!" Bintang mendongak dari lukisannya dan menemukan wajah tampan sepupunya yang muncul di depan pintu kamar. Bintang tersenyum menyambut.

"Hello Cloud!" Bintang balik menyapa Awan yang dua tahun lebih muda darinya.

Awan adalah anak saudara Mama Bintang yang tinggal di luar kota. Dua tahun lalu Awan memutuskan untuk kuliah di Bandung.

Pada tahun pertama kuliah, Awan tinggal di rumahnya dan itu membuat mereka menjadi sangat akrab sampai akhirnya karena tugas yang semakin banyak, Awan memutuskan untuk menyewa kamar kost yang lebih dekat ke kampusnya.

"Kudengar akhir-akhir ini kau sedang bertapa". Awan masuk ke kamarnya lalu duduk di atas tempat tidurnya dengan nyaman.

"Siapa bilang? Mama?" Tanya Bintang tanpa mengalihkan perhatiannya dari lukisan.

"Yahh.. Sepertinya dia sangat khawatir anaknya jadi autis".

"Hmmm.."

"Ada apa, Star? Kau bisa cerita padaku seperti biasa ".

Mereka terdiam dalam keheningan yang cukup lama, tawaran Awan tak ditanggapi Bintang, gadis itu sangat serius melukis. Terlalu serius malah. Membuat Awan penasaran.

"Apa sih yang kau lukis?"

"Hmmm.. Apa?" Bintang menatap Awan yang kini bangkit berjalan menuju tempatnya melukis.

"Oohh ini? Hanya lukisan abstrak".

"Omong kosong! Kau menggambar Langit! Dan ini sama sekali tidak abstrak!" Seru Awan.

Bintang terlonjak saat nama terlarang itu disebut.

"Aku tidak melukis Langit!" Bantah Bintang.

"Jangan bodoh! Lihat semua gradasi warna biru itu. Dan ini... " Awan menunjuk sosok perempuan yang ia lukis di bagian bawah kanvasnya.

"Ini sangat jelas, kau melukis seorang perempuan yang sedang terpesona menatap Langit".

Bintang mengerutkan keningnya dan mulai marah. "Sudah kubilang aku tidak melukis Langit apalagi terpesona! Aku tidak melukis dia!"

"Dia? Apakah maksudmu dia itu seseorang bernama Langit?" Tanya Awan mulai penasaran.

Sial! Bintang keceplosan. Dan Awan memang jago menebak.

Bintang bangkit berdiri menyimpan palet dan kuasnya lalu mulai berjalan bolak-balik di kamar, gelisah.

"Oooww ini pasti calon suami tetangga itu! Jadi kau sudah bertemu dengannya? Apa kau menyukainya?". Pancing Awan.

Bintang di Hati Langit (21 Bagian)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang