Bagian 7 : Negosiasi

8.6K 1.1K 25
                                    

Bintang merengut kesal saat melewati rumah Langit dan melihat mobil abu Langit telah terparkir di sana.

Jam sebelas malam dan Bintang kehabisan nafas setelah berlari pulang. Isi kepalanya entah ke mana untuk bisa berpikir logis dan memilih pulang naik angkutan umum daripada berlari.

Bintang berhenti di depan pagar rumah Langit yang setinggi dada Bintang. Rambut panjangnya tergerai kusut, kaos dan celana jeansnya lembab karena peluh. Kepalanya serasa akan meledak.

"Apa dia sama sekali tak peduli padaku?" Gerutu Bintang, hatinya bertambah kesal mengingat Langit sama sekali tak mencarinya, ia ingin marah dan mengumpat sepuasnya.

Bintang mencoba menahan diri selama beberapa menit, tapi percuma.

"Bajingan mesum!" Teriaknya dengan suara tertahan.

"Gila!"

"Kurang ajar!" Lihatlah, pria itu berhasil mengikis habis kesopanannya dan membuatnya menjadi gadis bermulut kotor.

"Kau bilang saling menikmati, huh? Apa aku terlalu rendah untuk bisa mendapatkan cinta bukannya nafsu?" Bintang terengah.

"Apakah pernikahan harus selalu tentang itu?"

Saat ini Bintang benar-benar muak dengan ide cinta dan pernikahan. Semua tak seindah bayangannya dulu, rasanya sia-sia dia belajar semua hal tentang pernikahan, karena sekarang ia tak tahu lagi apa yang dicarinya.

Bintang memejamkan matanya sejenak, mencoba berpikir jernih di tengah kepanikannya sendiri.

Ada yang salah, hatinya kini terasa hampa. Ia semakin tidak yakin dengan impiannya.

Menikah? Yang benar saja. Apa pikirannya saat itu? Apa yang membuatnya ingin menikah muda? Apa tujuannya?

Pertanyaan sama seperti yang Langit ajukan dulu. Tapi dulu dia begitu yakin dan tak merasa terganggu dengan pertanyaan itu. Kini? Pertanyaan itu balik menghantuinya, menertawakannya.

Samar Bintang mendengar suara pintu mobil terbuka, seseorang keluar dari sana dan berjalan mendekatinya. Bintang terlalu sibuk dengan pikirannya sehingga tak berpikir untuk pergi. Sebuah tepukan ringan dari gulungan kertas koran mengenai dahinya. Bintang membuka matanya perlahan.

"Pulang sana, gadis bodoh! Kau bisa membuat satu desa terbangun dan membuat kehebohan dengan menyebutku... Bajingan mesum? Apa kau selalu berteriak di malam hari?"

Bintang menatap Langit yang tampak entahlah, Bintang tak bisa menebaknya. Yang pasti Langit tidak terlihat terganggu, sorot matanya malah terlihat terhibur.

"Kau mau pergi lagi?" Bintang melihat jaket kulit hitam yang ditenteng tangan kiri Langit.

"Tadinya, tapi sepertinya tidak perlu"

"Kenapa?"

"Karena kau sudah di sini. Sekarang pulang sana!" Usir Langit. Tapi Bintang hanya terdiam, menatap wajah Langit berharap mendapatkan jawaban semua pertanyaannya di sana.

Bintang menemukan alis Langit ternyata cukup tebal dan lengkung, bulu mata panjang dan lebat menaungi matanya yang sedang balik menatapnya, ekspresinya masih tak terbaca.

Bintang menemukan guratan halus bekas luka membelah bibir bawah Langit, nyaris tak terlihat.

"Apa kita akan menikah?" Tanya Bintang mencoba mengalihkan pikirannya.

"Sepertinya begitu". Langit mengangkat bahunya.

"Apa tidak bisa dibatalkan?"

"Bisa. Jika aku mau"

"Kau mau membatalkannya?"

"Tidak"

"Kenapa?"

"Karena aku sudah berjanji, sayang". Rasa hangat menyelusup di hati Bintang yang tadi hampa. Sayang? Apa dia tak salah dengar?

"Omong kosong. Kau pria dewasa 31 tahun. Tidak mungkin sesuatu seperti janji pada remaja tanggung mengatur jalan hidupmu"

Langit terdiam seperti sedang memutuskan sesuatu.

"Seperti yang kamu bilang, aku pria dewasa 31 tahun dan sangat sehat, tidak mungkin mimpi seorang remaja bisa mengatur hidupku. Tapi mungkin seorang wanita dewasa bisa memenuhi kebutuhan hidupku sekarang dan aku yakin kamu tahu kebutuhan apa yang aku maksud" Kata Langit ambigu, mata gelap keemasannya berkilat seperti api.

Bintang cemberut, ia tahu tapi tak ingin menebak .

"Dan apa tepatnya yang kau butuhkan?" Tantang Bintang. Langit berdeham.

"Akhir-akhir ini aku malas bersih-bersih rumah dan memasak. Aku cukup manja dan banyak maunya"

"Hanya itu? Sewa saja asisten rumah tangga, aku bukan pembantu!" Langit tersenyum miring membuat Bintang sedikit gemetar.

"Tapi mereka mahal dan tidak bisa... Kau tahu? Memanjakanku". Kata Langit serak dan parau.

"Dasar genit Bajingan pelit! Maharku lebih mahal." Jerit Bintang merasa frustrasi.

"Oh ya? Apa itu?"

"Hidupmu! Dan kau takkan bisa mendapatkannya kembali. Aku galak dan akan mencampuri semua urusanmu, kau takkan mendapatkan privasi dan ketenangan sedikitpun, aku bersumpah akan lebih cerewet dan membuat telingamu keriting setiap hari. Aku juga akan meneleponmu setiap satu menit saat kau tak ada. Saat kau akhirnya minta cerai aku pastikan kau takkan bisa. Kau terjebak denganku selamanya! Jadi bagaimana? sebaiknya kau berpikir ulang tentang pernikahan kita". Kata Bintang dalam satu tarikan nafas.

Bintang menunggu ekspresi terganggu atau ketakutan dari wajah Langit yang semakin mengganggu kewarasannya, tapi nyatanya dia hanya memutar bola matanya ke atas dan tampak bosan.

"Ya.. Ya.. Ya.. Aku jadi tidak sabar menikahimu" Bintang melongo mendengar jawaban tak terduga seperti itu.

"Aku...aku juga akan bertindak tegas dan jahat pada pacarmu! Kalau perlu membunuhnya jika mengganggu! Asal kau tahu aku tak mau berbagi!" Ancam Bintang lagi, Langit tidak menanggapi.

"Pokoknya kau akan menyesal! Aku jamin.. Kau akan meny.... "

"Sana pulang, pikiranmu ngawur!" Potong Langit sambil menepuk dahi Bintang lagi bertubi-tubi dengan gulungan koran di tangan kanannya.

"Tidak! Sebelum kau membebaskan aku dari perjanjian ini". Tolak Bintang.

Mereka beradu pandang, menilai kekuatan masing-masing. Langit bergerak, tangannya bertumpu di pagar wajahnya mendekati wajah Bintang yang bersikukuh. Pria ini sedang mengintimidasinya, Bintang menolak kalah dan bertahan pada posisinya walaupun gelenyar rasa panas mulai merambati hatinya.

Nafas Langit berhembus di wajah Bintang, wanginya seperti permen mint.

"Pulanglah dan istirahat" Bisik Langit tepat di telinganya. Bintang terkesiap mendengar suara Langit yang dalam.

Bintang menggelengkan kepalanya keras-keras sebagai jawaban sekaligus usahanya untuk tetap fokus.

Langit bergerak mundur, melemparkan gulungan koran dan jaket di tangan kanan dan kirinya lalu membuka pintu pagar dan keluar menarik Bintang.

Lebih tepatnya menarik tali tas yang dipakainya sehingga membuatnya tercekik jika tidak mengikutinya.

Bintang berjalan terseok-seok menuju pintu rumahnya sendiri. Langit akhirnya melepaskannya lalu menekan bel.

Pintu akhirnya terbuka, wajah ayahnya yang penuh kekhawatiran mendadak lega saat melihat Bintang.

"Seharusnya pulangnya jangan terlalu malam! Bintang masih anakku. Tanggung jawabku". Kata papa pada Langit membuat Bintang tersenyum senang dan tulus untuk pertama kalinya sejak kedatangan Langit.

Ya.. Papa memang yang terbaik! Marahi saja pria sombong ini! Pikir Bintang puas. Langit melihatnya tersenyum, untuk sepersekian detik Bintang merasa Langit sedikit terpesona padanya. Tapi tentu saja itu tidak mungkin.

"Kalau begitu.. Izinkan aku untuk menikahinya besok!" Kata Langit membuat senyuman Bintang yang baru muncul sirna seketika.

________

Silakan komen lah! 😁

Bintang di Hati Langit (21 Bagian)Where stories live. Discover now