Mama

7.6K 369 8
                                    

Aku duduk di meja admin dengan kepala yang tertunduk di meja. Ko William tampak berhenti mengajar dan melihat keadaanku. Sesekali Ko william melihat kearahku dan bertanya "Kamu tak apa-apa kan na?" Aku hanya mengangguk pelan.

Ko Roy tampak sibuk menjelaskan apa yang terjadi pada guru-guru yang lain. "Orangtuanya sudah aku hubungi, biarin dia disini dulu nanti nunggu jemputan orangtuanya" samar-samar terdengar suara ko William.

"Kok bisa kayak gitu Roy?" Tanya ko William minta penjelasan. "Entah ko, tiba-tiba saja Ana jadi seperti itu" sahut Ko Roy.

"Kamu temani dia dulu disini, nanti kelasmu biar di handle guru yang lain" perintah ko William.

"Koooo" suaraku lirih sambil tertunduk. Ko Roy yang tadi berdiri menjelaskan ke guru-guru yang lain kini duduk di depanku. "Kamu tenangin dirimu ya" kata ko Roy. "Kooo , cerita ko Roy itu benar kah ko?" Kataku dengan wajah yang masih tertunduk.

"Cerita yang mana?" Tanya ko Roy. "Cerita mey ko, anak kecil yang . . . ." Aku tak berani melanjutkan. "Oh yang pernah aku ceritakan di kelas? Yang kamu bilang aku bohongin anak kecil itu?" Jawab ko Roy yang malah kembali bertanya.

Aku mengangguk pelan, "Mungkin itu cuma imajinasimu saja Na" jawab ko Roy. "Tapi lho ko itu nyata, aku lihat sendiri ko, aku mendengar sendiri ko" jawabku menyangkal ko Roy. Aku mulai meneteskan air mataku. "Aku takut ko kalau gini terus" isakku.

Tampak ko Roy mulai gelisah di depanku.

"Begini ya Na, cerita yang sebenarnya aku tidak tahu, apa itu nyata atau tidak. Jika kamu lihat ke pintu kaca di lantai dua itu kau pasti bertanya-tanya kenapa pintu itu tak pernah dibuka oleh siapapun, namun yang jelas ko William yang memiliki tempat inipun enggan untuk beralasan. Alasanya sudah lama kunci itu hilang, namun mungkin semua itu ada hubungannya" jawab ko Roy memelankan suaranya.

"Ko Roy jadi tau kalau aku tidak berimajinasi kan? Ko Roy tau kan aku di kejar-kejar sama itu kan ko, dia terus menampakkan diri ke aku ko, tidak sama yang lain" kata-kataku tak karuan lagi dengan air mata yang terus membasahi pipi.

Teman-temanku yang tadi di lantai dua, turun ke bawah untuk melihat kondisiku. Linda, Rino, dan Doffi berdiri di sampingku.

"Kamu lihat apa sih Na" tanya Linda. "Yang pernah aku ceritakan ke kalian"jawabku sambil mengusap air mata di pipi.

"Na kamu harus ke psikolog Na" kata Doffi. "Psikolog, psikolog, emangnya Ana gila apa, heeehhh" sahut Rino.

"Loh harus gitu, ya kan ko? Siapa tau Ana depresi, kan nilai matematikanya remidi" kata Doffi.

"Heh kamu tu loh temenya lagi gini kok malah bercanda terus" kata Linda sambil memegang tanganku. "Wehhh Doffi ini" sahut Rino. "Kamu juga tenangin temanmu" kata ko Roy kepada Rino.

Aku pulang setelah mami menjemputku. Setelah ko William menjelaskan apa yang terjadi hari itu aku melangkah pergi menuju ke mobil bersama mami.

Duduk di depan dengan perasaan yang masih takut bercampur bingung. "Mi langsung pulang aja, aku mau tidur" kataku. "Okey, kamu tenangin diri dulu, besok mami mau mengajak tante Sylva ke rumah" sahut mami.

Aku tak tahu siapa itu tante Sylva. Aku tidak peduli.

Setelah menghidupkan mobil dan berjalan beberapa meter, mobil mami mengerem mendadak membuat kepalaku terbentur keras ke kaca mobil.

"Mi apa sih? Tanyaku sebal pada mami. "Bentar kayaknya mami menabrak sesuatu" kata mami sambil keluar mobil dan memeriksa.

Beberapa saat setelah itu mami kembali lagi. "Huhhh aku kira anjing, ternyata hanya boneka ini yang mami tabrak" kata mami sambil melempar boneka itu ke jok belakang mobil.

Aku tidak peduli mami menabrak apa, aku cuma mau menenangkan fikiranku. Dan berharap esok hari-hariku akan kembali normal.

Namun ternyata tidak . . .

The Last Student (murid terakhir)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang