HOPE (chapter 14)

Mulai dari awal
                                    

“Diluar masih gerimis, Cha. Kayaknya nanti deras. Nanti aja, bareng sama kakak.” Ia menyergahku dan menggenggam tanganku.

Dengan cepat aku menepisnya. Iapun sedikit terkejut, dan aku tersenyum tipis “Maaf, reflek,” Alasanku—bohong “Ocha... suka sama hujan, dan Ocha senang berjalan ditengah hujan. Jadinya...”

Kami terdiam beberapa saat karena aku tak meneruskan kalimatku.

“Sampai jumpa, yah.” Lanjutku untuk mengakhiri kalimat. Sebenarnya aku lebih suka menggunakan kata ‘Dadaah...’ karena menurutku kata itu sedikit ambigu. Entah nanti kita akan bertemu lagi, atau untuk selamanya kita tak berjumpa.

Dengan cepat aku menyambar pintu dan keluar dari ruangan ini. Ruangan yang membuat dadaku sesak. Tanganku sudah gemetar, mataku mulai basah, aku nggak mau ia melihatku, ia pasti akan menutup mata, ia akan pergi, tanpa melakukan hal apapun yang akan menenangkanku. Aku juga nggak mau dia melihatku menangis, aku nggak mau siapapun melihatku menangis.

“Ah...” Aku hampir menabrak seorang gadis yang sepertinya kukenal. Gadis berambut panjang kecokelatan yang memakai softlens biru  itu sepertinya mau masuk ke ruangan ini. Rasanya perutku mulas begitu melihat wajah gadis itu.

Dengan cepat aku berlari tanpa meminta maaf padanya, masa bodoh. Aku berlari keluar dari sekolah ini dengan secepat yang kubisa, samar-samar kudengar kak Sandy meneriakki namaku.

Akupun mengacuhkannya dan berlari ke jalan raya.

 “Taksi!!”

cinta harus berkorban

walau harus menunggu selamanya

ku tau…

kau bukan untukku...

                                                *           *           *

Sudah beberapa hari berlalu sejak peristiwa ‘waktu itu’, aku sendiri tidak tahu harus pasang wajah apa bila bertemu dengannya. Tetapi, kemarin aku merasa sakit hati. Karena apa? Kali ini ia tidak menganggapku ada, senyumku tidak digubris olehnya. Aku sudah mencoba membuat sebuah status di facebook dengan sindiran halus, quote buatanku sendiri. Tetapi ia langsung mengirimiku pesan singkat bahwa ia tak melihatku. Padahal, dari jarak 10 meter sejauh itu sampai berpapasan kamu tidak melihatku? Padahal saat itu, sebelum berpapasan dan masih beberapa meter, kau sempat melirikku. Apa kini sosokku tak terpantul lagi di matamu?

Memang seperti itu, kan fakta hidup? Setelah berpisah dari suatu hubungan, beberapa diantara mereka bersikap seolah-olah ‘tidak pernah kenal’.

“Udah ah lu galau mulu!” Tian memukul punggungku sampai aku tersedak teh manis yang kubawa dari rumah. Hari ini aku berada di sekolah habis ekskul, dan seperti biasa, Tian selalu datang ke sekolahku. “Eh, kok lo pulang jam segini, sih? Udah jam setengah lima, lho”

Aku melirik arlojiku, benar, pukul setengah lima sore. Sebetulnya aku habis rapat ekskul. Dan aku sengaja berlama-lama duduk di kolam ikan karena melihat motor kak Sandy yang terparkir di dekat situ.

“Paling lama-lama disini karena ngeliat motor si dia. Mending lo pulang deh, Cha, nanti nggak taunya dia bawa pacar barunya, lagi. Hahaha...” Candanya.

Aku memukul pundaknya dengan keras, candaan yang tak lucu. Jelas!

“Eh, si Sandy tuh, Cha.” Tian menunjuk kak Sandy yang keluar dari sebuah ruangan, ia sendiri melihatku sedang duduk di kolam bersama Tian—setidaknya ia tidak kenal siapa Tian.

Lelaki berkemeja kotak-kotak itu menghampiri motornya, dan tak lama setelah itu seorang perempuan berbaju biru tua dengan kacamata menghampirinya, perempuan yang kulihat beberapa hari yang lalu setelah aku bicara dengan kak Sandy, dan aku hampir menabrak dirinya. Siapa? Siapa perempuan itu? Kenapa ia bersama kak Sandy?

Perempuan itu melirikku lalu berbincang-bincang dengan kak Sandy. Kukira perempuan itu akan pergi, tetapi ia malah menaiki motor kak Sandy, ya, dia memboncengi perempuan berkacamata itu. Bahkan kak Sandy sempat menolehkan kepala ke arahku, lalu pergi begitu saja melajukan motornya. Apa aku salah lihat? Siapa perempuan itu? Siapa?!

Tian menarik tanganku dan berlari ke arah gerbang sekolah seperti berusaha mengejar kak Sandy dan perempuan berkacamata itu, tetapi tak sempat. Lelaki berambut tebal itu kini melirikku dengan wajah cemas karena ekspresi wajahku datar, pandangan mataku kosong seakan-akan sedang terhipnotis. Yang anehnya aku tidak berurai air mata.

“Cha...” Tian mengguncang bahuku dengan perlahan.

Aku menepis tangannya dan berlari untuk duduk di kolam sambil menunduk. Pikiranku kalut, dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan. Bahkan sampai aku berpikiran negatif.

Ah, aku ingat.

“Dia mantannya, yang dulu sempat balikan dengan kak Sandy, juga yang paling menyebalkan.”

Dan disaat itu air mataku turun.

                                                            *           *           *

Sudah lewat dari jam tidurku tetapi aku belum bisa memejamkan mata dan larut dalam tidur, aku hanya berbaring di tempat tidur sambil memandang ponselku yang menampilkan wallpaper Brendon Urie - udah kuganti wallpapernya ish. Di ponsel ini, ada banyak kenangan.

Aku tidak ada semangat untuk melakukan apapun, bahkan online sekalipun. Bicara soal online, aku men-deactiv-kan akunku di facebook. Aku capek.

Drrrt...drrrt...

Ponselku bergetar mendapati pesan masuk. Akupun sedikit menganga karena melihat kak Sandy mengirimiku pesan.

Memble : kenapa kk di block sama Ocha?

Hah? Tunggu, tunggu... Apa dia mengira aku mem-block dirinya?

Sent        : sok tau. Di block aja nggak.

Kubalas dengan dingin.

Memble : di block juga gapapa kok

Sent        : facebooknya ocha deact. Terserah.

Ini laki maunya apa sih? Dibuang iya, tapi masih dilirik-lirik aja. bikin geer tau ga? Aku nggak mau percakapan yang begini? Aku mau yang dulu, saat kita saling meledek dan tertawa sekalipun lewat pesan singkat atau telepon.

Tunggu, kenapa dia sadar kalau aku tidak ada di facebook. Kalau dia mengira aku di-block olehnya. Apa berarti dia sering membuka profilku?

Kenapa dia masih peduli denganku?

                                                   *           *           *

HOPETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang