chapter 3: Pulang bareng

2.8K 52 4
                                    

Betapa terkejutnya aku begitu tahu bahwa ia mengetahui bahwa kak Sandy sudah mengetahuiku. Ia mengenaliku. Senang, jelas saja aku senang.

Aku bangkit dan mulai melangkahkan kaki menuju ruang keluarga, aku mengedarkan pandangan, anggota keluargaku berkumpul di ruang keluarga, namun sibuk masing-masing. Kak Erlangga sibuk menonton saluran tv yang sedang menyiarkan pertandingan sepak bola, papaku sibuk memainkan ponsel smart phonenya, mamaku sibuk membacakan buku bersama adikku yang masih berumur 6 tahun. Aku duduk disebelah kakak lelakiku dengan nyaman sambil membaca pesan-pesan lampau yang kak Sandy kirimkan padaku.

 “baby I Love you, love you, love you so much~~” Tiba-tiba saja lantunan lagu itu keluar dari bibirku, entah hantu girlband apa yang merasukiku.

Sentak seisi ruangan menoleh menatapku, akupun tersadar dan menghentikan nyanyian tersebut sambil menundukkan kepalaku.

“Kaesha, Gue nggak salah denger kan?” Kak Erlangga mengerutkan kening sambil menyentuh keningku.

“Nggak, kali? Gue cuma nyanyi doang, kak...”

“Alibi, lo lagi naksir cowok, ya?” Tanyanya dengan nada menyelidik. Akupun terdiam dibuatnya.

                                       *           *           *

Hari ini ada test penjurusan. Dari semua teman dekatku, hanya aku yang tertarik pada pelajaran IPS dan juga masuk IPS. Test berlangsung pukul 2 siang setelah pulang sekolah—tentunya mereka dibiarkan belajar sebentar.

 Aku mengeluarkan ponselku, namun tiba-tiba saja ponselku bergetar dan mendapati pesan singkat masuk.

From : Jemput!

Maaf, hari ini tdk bs jemput,lg di Bogor

WHAT?!

Jemput, itu adalah nama kontak tukang ojek langgananku yang kunamai ‘Jemput’ di ponselku. Padahal aku baru saja senang nanti bisa pulang cepat, tapi... kenapa harus susah begini?!

Aku memalingkan muka dengan wajah yang memelas, namun teman-temanku melihat wajah melasku dan tertawa

“Tukang ojek gue ke Bogor... Gue harus pulang sama siapaaa?”

Semua―tak ada satupun diantara mereka yang menjawab―hanya menggeleng, karena rumahku paling jauh diantara mereka yang lain.

Dyah, tentu saja dia takkan mau mengantarkanku, karena rumahnya dan rumahku berjarak bagaikan utara dan selatan. Puji, oh mau naik apa aku sama dia? Perempuan yang berasal dari Cilacap ini tidak bisa naik motor. Dian, apalagi dia, tipe perempuan yang nurut kepada kedua orang tuanya yang dilarang naik motor, selain itu ia selalu pulang ke rumah jika jam sekolah usai. Rahmah, dia nggak bawa motorrr!!

“Puji...” Kataku “Jadinya gue pulang sama siapa? Rumah gue jauh...”

 “sama kak Sandy aja, sih. Lagian rumah lo sama dia satu kecamatan, kan?” Ucap Dyah tiba-tiba

Aku mengangguk “Terus?”

Dyah menatapku dengan menyipitkan kedua matanya “Minta anterin lah!!”

“hah?!!”

Gila, tentu saja gila. Apa dia tak tau? Bertemu pandang dengannya saja membuatku mati kutu, bahkan jarak kami masih 10 meter-pun tanganku sudah gemetar. Apalagi bisa satu motor dengannya? Jujur saja baru pertama kali aku bisa satu motor dengan orang yang aku suka, dengan mantan terdahulupun tak pernah!

“Gue tau lo gugup, Cha. Apa lo mau naik bajaj atau ojek lain? Keluar dana lho.” Celetuk Dinda

Aku menggarukan kepalaku, benar juga, kalau naik bajaj atau ojek aku bisa keluar, paling sedikit 20 ribu. Dan aku tak punya uang sebanyak itu untuk saat ini.

HOPEWhere stories live. Discover now