HOPE (chapter 9)

2.4K 36 4
                                    

chapter 9: Permintaan maaf

“Gue minta maaf.”

Kalimat yang terlontar dari bibirnya itu membuatku tehenyak sejenak, ada angin apa dia berkata seperti itu padaku?

“Cha?” ia memastikan aku memperhatikannya.

Aku menggenggam sapu tanganku “Kenapa, Tian?” Aku tersenyum masam, juga malas menatap wajahnya.

Tiba-tiba saja tersungging senyuman lebar yang menghiasi wajahnya “Lo mau, kan maafin gue?” Ia mengulangi kalimat tadi,  bahkan dengan perlahan ia ucapkan tiap kata.

 “Buat apa maafin lo?” Tanyaku dengan nada meledek dan sedikit terkekeh. Ya, buat apa? Dia pikir mudah? Apa dia hanya pura-pura? Manusia itu makhluk  pendusta yang suka bersandiwara.

Terbesit muncul sedikit kekecewaan dari sorotan matanya, aku berusaha menghindari kontak mata dengannya, matanya yang tajam dengan bola mata hitam pekat.

“Mungkin lo berpikir kalimat berusan itu mudah buat diucapkan oleh seorang playboy macam gue, si brengsek yang udah mengkhianati lo, menyia-nyiakan kepercayaan lo. Yang benar-benar tau ketulusan permintaan maaf gue mungkin cuma Tuhan aja, Cha... Tapi, gue benar-benar menyesal Cha, dan gue benar-benar minta maaf.”

“Kalo gue nggak mau?”

“Gue akan terus berusaha sampai lo maafin gue. Please banget, Cha. Gue bener-bener menyesal.”

Aku menghela napas “terserah.”

Ia menatap wajahku dengan sorot mata yang berbeda, sorot mata yang belum pernah kulihat sebelumnya. Sorotan mata yang begitu sedih, setelah itu ia menundukkan kepalanya, kurasakan bahunya yang naik kemudian turun seperti menghambuskan napas, kemudian ia mendongak menatapku sambil tersenyum.

“Yaudah, gapapa... tapi gue akan buktiin sama lo kalo gue benar-benar menyesal, Cha.”

“Oh,” Responku“udah, kan? Gini aja?”

Ia tertawa kecil “lucu, sikap lo yang satu itu gak akan pernah berubah. Ya, ini aja sih. Hehe... yaudah kalo gitu gue balik dulu ke lapangan. Oh iya, sekarang gue tiap hari senin sampai jumat ada di sekolah lo buat latihan. Lo ada rapat ekskul, kan sekarang?”

“Iya,” Jawabku singkat. Masa bodoh dengan jadwal kehadirannya. Aku bangkit dan berjalan lebih dulu dari Tian.

Kupetik daun berwarna kuning yang nyaris putus dari ranting pohon dekat kantin, kurobek daun itu perlahan-lahan. Tiba-tiba saja aku mendengar suara langkah kaki, langkah kaki Tian yang berlari menyusulku.

“Gue sayang sama lo, Cha,” Bisiknya begitu ia melintasiku. Itu membuatku berhenti melangkah dan terdiam untuk sesaat, mataku terbelalak.

Aku tak tuli. Aku mendengar bisikannya, bisikan barusan membuatku tak bergeming. Apa ia berniat untuk mempermainkanku lagi? Sorotan mata tadi benar-benar tak pernah kulihat sebelumnya, sorot mata yang berbeda begitu mengetahui reaksi benciku padanya. Apa ia benar-benar menyesal?

                                                   *           *           *

‘Sudah tahu cemburu kenapa masih dilihat-lihat profil cewek ini?’

Aku menatap foto seorang perempuan  dengan mataku yang bulat seperti rusa, namun kupicingkan mataku begitu melihat foto perempuan itu. Aku iri... kenapa aku nggak bisa menjadi dia? Kenapa aku nggak seberuntung dia? Dia pernah menjadi orang yang dicintai kak Sandy...

Aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan panjang, berusaha menepis dan mengenyahkan rasa cemburu yang berkecamuk di hatiku. Astagfirullah, aku nggak boleh memiliki sifat ini... aku nggak boleh iri!

HOPETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang