Part 1

194K 3.5K 137
                                    

Mataku menatap nanar pada kedua mempelai yang ada di depan penghulu, duduk dengan tegap dia adalah Fadli, sahabatku. Seharusnya aku berbahagia melihat sahabatku mengawali hidup baru, iya seharusnya begitu. Tetapi faktanya saat ini hatiku sesak melihat prosesi itu. Bukankah seharusnya aku yang ada di sana--di sampingnya. Seharusnya aku yang menghabiskan masa tuaku bersamanya. Seharusnya aku yang jadi mempelai wanita, sedikit egois memang tetapi faktanya aku lebih mengenal Fadli daripada wanita itu. Aku lebih mengenal Fadli luar dalam dibandingkan dengannya. Aku tahu rutinitas apa saja yang dia lakukan setiap hari. Aku tahu apa makanan favorit dan makanan yang dibencinya, bahkan aku juga tahu berat badannya. Aku tahu segalanya dalam diri Fadli tetapi mengapa justru wanita yang baru satu bulan mengalihkan perhatian Fadli yang kini jadi pendampingnya. Kenapa Tuhan?

"SAH."

Suara antusias dari para saksi dan tamu seperti suara bom yang mampu menulikan telingaku. Jadi benar kisah kami akan berakhir mulai hari ini. Takdir lah yang menentukan jalan hidup manusia. Aku memang mengenal Fadli dari kecil, kami satu sekolah dan selalu pergi bersama. Cukup banyak yang mengatakan kami layaknya bunga dan kumbang. Cih, semua itu hanya kata orang. Takdir telah menunjukkan kuasanya, aku dan dia tidak ditakdirkan bersama.

"Mereka ngapain, Fa?"

"Kata Papa itu namanya menikah!"

"Menikah itu apa?"

"Kata Papa kalau orang gede menikah nanti bisa hidup bersama."

"Kalau gitu nanti Bila menikah sama Fa ya?"

"Iya."

Ingatan kebersamaan kami waktu kecil silih berganti bagai film usang yang terus diputar.

Satu Bulan yg lalu

"Bilaaaa aku jatuh cintaaaaa, aku mendengar nyanyian suara dewa dewi cinta menggema dunia!"

Aku sudah bosan mendengar ocehan Fadli yang ada di sampingku. Sejak satu jam yang lalu dia menyanyikan lagu yang sama pada lirik sama. Telingaku bahkan sudah cukup panas mendengarnya. Dia hanya ingin mengatakan kalau sedang jatuh cinta jadi tidak perlu diulang bukan? Menyebalkan.

"Bil, gimana? Dia cakep kan?" tanyanya lagi.

"Gimana aku bisa kasih komentar kalau ketemu aja belum pernah sih, Fa? Kamu hanya bilang dia cantik, cantik dan cantik. Hei ukuran cantik itu relatif, cantik bagimu belum tentu bagik," sungutku saat dia bertanya kembali mengenai foto yang dia tunjukkan.

Fadli menyandarkan bahunya ke sofa dan kembali tersenyum. Hari ini dia memang sedang obral senyum.

"Besok aku mau minta Abang buat ngenalin kami, siapa tahu ada respon positif buat PDKT," ucapnya lagi. Mataku membuka lebar mendengar ucapannya. Sejak dulu aku cukup mengenal Fadli sebagai orang selektif, tetapi kali ini dia benar-benar buta oleh cinta. Baru bertemu sekali dan langsung melakukan pendekatan termasuk gegabah bukan?

"Kamu yakin?" tanyaku sedikit ragu dan dibalas dengan anggukkan kepala olehnya, kemudian dia kembali berdendang.

Dua Minggu yang lalu

"Bila," panggilan Fadli menarikku kembali ke alam nyata.

Beberapa menit yang lalu dia mengatakan kalau usahanya berhasil. Wanita itu bersedia menerima Fadli dengan syarat mereka menikah. Wanita gila! Lebih gilanya lagi karena Fadli menerima syarat itu. Lamaran akan dilakukan minggu depan.

"Gimana? Besok mau ikut lamaran kan?" tanya Fadli antusias.

Aku menggeleng malas dan langsung diartikan kalau aku menolaknya. Padahal seandainya saja dia tahu, aku menggelengkan kepala karena tidak percaya atas keputusannya, tidak percaya kalau dia akan menerima syarat itu.

BilaWhere stories live. Discover now