HOPE (chapter 13)

Start from the beginning
                                    

Aku menunduk, mencoba menahan tangis. Tapi tidak bisa. Tujuanku kesini hanya untuk menangis. Hari minggu, di kolam ikan ini. Di sekolah yang selalu buka gerbangnya di hari minggu sekalipun.

“Apa dia sengaja melakukan itu semata hanya untuk mengetesku saja? Apa ia berpikir perasaanku selama ini kurang?” Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri, setidaknya berusaha untuk positive thinking.

Samar-samar kudengar suara pantulan bola dari sini, akhirnya aku menghapus air mata disudut mataku yang belum banyak menetes. Dengan berani aku melangkah lalu mengintip lapangan sekolah. Ada anak voli dan futsal yang sedang latihan. Lapangan sekolahan kami memang besar sehingga bisa dibagi dua jika ada jam bentrok seperti ini.

“Sering banget, sih anak voli latihan!” Keluhku.

Saat ini mendung, sedari pagi terus mendung, setetes airpun tak turun dari langit. Cuaca yang kuharapkan, setidaknya aku tidak kehujanan atau kepanasan disini.

Drrrt... drrrrt...

Ponselku bergetar. Begitu cepat aku merogoh saku celanaku dan memeriksanya.

Ah, dia...

Memble   : maaf...

Jangan... jangan berkirim pesan lagi padaku...

Saat itu aku memeriksa profil akunnya. Ia menulis sesuatu yang sepertinya untukku.

Sandy Putra Rakhsan : kau tak mengerti saat kubilang “maaf”

“Hiks...” Air mata ini menetes lagi karena teringat akan sebuah peristiwa. Saat ia datang ke rumahku disaat gerimis hanya untuk mengatakan bahwa ia tak lagi menyayangiku. Itu... itu... menyakitkan.

“Kenapa kau begitu kejam?” Aku menunduk.

“Eh, Ocha?” Suara halus yang memanggilku membuatku terhenyak dan mau tak mau harus kuhapus air mata yang menetes.

“Ya?” Tanyaku tanpa mendongak.

“Ocha, ngapain hari libur disini?” Gadis itu masih bertanya padaku “kok ngumpet di tempat tertutup disini, sih?”

Aku diam.

“Tadi aku nyari udara segar, jadinya aku kesini. Oh iya, aku temannya Tian. Namaku...” Tiba-tiba saja ia berhenti tak melanjutkan perkenalannya

“Maaf, kayaknya aku harus pergi. Lain kali kita ngobrol lagi, ya. Daaahh Ocha...”

Aku yang masih menunduk tak mendengar suaranya lagi. Pasti ia pergi. Ah, semoga saja tak ada yang bertanya padaku lagi kenapa aku disini. Lebih parah lagi jika ada yang bertanya padaku ‘kenapa kamu menangis’ pasti tangisanku meledak. Membuatku teringat akan alasan mengapa aku menangis.

Tunggu. Apa gadis itu mengadu pada Tian kalau aku ada disini? Tampaknya aku harus pergi.

“Weh!”

Gawat.

Aku berbalik badan membelakanginya. Dan tentunya mengacuhkannya juga.

“nomor lo masih yang lama, kan? Gue telepon nggak diangkat-angkat,” lanjutnya “Jia, lo ngapain liburan gini ke sekolahan? Mau ke tempat kenangan sama senior tercinta, ya?”

Aku terhenyak.

“Jia...” Ia mendekatiku dan menyentuh bahuku, namun dengan cepat aku menghindarinya.

“J...jangan...”

Ia bingung dan memegang kedua bahuku dari belakang, iapun memutar tubuhku “Zahria?”

Jangan... jangan tanya kenapa!

“Jangan malu, jangan takut,” Ia menggenggam erat tangan kiriku dan menyentuh kepalaku. Tubuhnya tertahan, tak memelukku “Nangis di depan gue”

HOPEWhere stories live. Discover now