"lo jahat Nes, kenapa lo nggak ngasih tau gue? Lo anggap gue apa? Lo pikir gue bakal nyebarin hal ini di sekolah?", air mata Dian menetes, membasahi kedua pipinya. Dia menangkupkan kedua tangannya di wajahnya. Aku mendekati Dian dan memeluknya, berkali-kali meminta maaf padanya.

*

*

*


RAFFA POV

Aku menunggu Ines di depan ruang kelas setelah selesai mengerjakan ujian kenaikan kelas terakhir. Dari jendela aku melihat Ines dan saat dia melihatku, bibirnya membentuk sebuah senyuman untukku. Senang sekali rasanya melihatnya tersenyum seperti itu, seolah tanpa beban apapun. Aku pun melambaikan tangan padanya dan memberi kode bahwa aku menunggu di luar kelas. Di kelasnya, hanya tersisa sekitar 10 orang yang belum selesai mengerjakan ujian, termasuk Ines.

Beberapa menit setelahnya, Ines keluar dari kelas bersama dengan Dian. Tangannya sibuk merapihkan sweater berwarna merah muda yang dikenakannya. Aku bangkit dari dudukku, menghampirinya dan memeluknya dengan erat. Ines meronta dalam pelukanku, tidak ingin orang lain melihat kami seperti ini. Tapi aku bahkan tidak peduli, aku sungguh ingin sekali memeluknya. Aku merasa cukup lega, Ines berhasil sampai hari ini. Aku senang dia baik-baik saja, begitu juga kandungannya yang kini sudah berumur lima bulan yang cukup terasa mengganjal saat aku memeluknya.

"eh eh, masih di sekolah nih", bisik Dian pada kami, wajahnya tampak khawatir. Ines mengiyakan ucapan Dian. Namun aku hanya melebarkan bibirku dan menunjukkan sederet gigiku padanya. Sebelumnya aku tidak pernah tenang karena memikirkan Ines akan baik-baik saja selama berada di sekolah. Aku sangat khawatir dia tidak akan bisa menyelesaikan ujian kenaikan kelas ini karena kandungannya. Karena itu, hari ini aku sangat sangat sangat lega dan senang.

"jadi setelah liburan kenaikan kelas, lo nggak masuk sekolah lagi?", tanya Dian saat kami sudah berada di dalam mobil. Hari ini aku memang sengaja mengajaknya ke rumah kami untuk menemani Ines.

Ines memberikan jawabannya dengan sebuah anggukan.

"yaaah, gue sendirian dong?", kecewa Dian pada Ines.

"kalau sekolah ngizinin, Ines balik lagi semester dua tahun depan", aku memotong pembicaraan mereka.

Aku menginjak rem dan mematikan mesin mobil saat kami sudah sampai di depan rumah. Aku membukakan pintu mobil dan membantu Ines keluar dari mobil. Dia menatapku dengan tatapan cemas. Aku pun mengelus pundaknya berusaha menenangkan, "kamu tenang aja, aku yang akan bicara dengan mereka", kataku padanya meskipun aku sendiri merasa sangat gugup.

Aku meminta Dian untuk tetap menemani Ines dan menenangkan Ines di rumah sementara menunggu aku kembali pulang. Setelah memastikan Ines dan Dian masuk ke dalam rumah, aku kembali masuk ke dalam mobil dan menuju ke rumah orangtuaku.

Bang Udin, penjaga rumahku membukakan pintu gerbang saat tepat saat aku sampai di sana. Di parkiran depan rumah, sudah terparkir mobil milik Papahnya Ines. Aku pun bergegas masuk ke dalam rumah. Aku abaikan semua perasaan cemas dan gugupku. Kedua orangtuaku dan Ines ternyata sudah menungguku di dalam rumah. Mereka sedang berbincang santai di ruang keluarga dan segera menghentikan segala aktivitas saat aku mengucapkan salam.

"loh Inesnya mana Raf? Mamah sudah kangen sekali sama Ines", tanya Mamah padaku.

Aku menarik nafas panjang, "Ines di rumah Mah"

"Raf, tadi kami baru membicarakan kalian. Kalian ada apa? Sudah sebulan ini nggak pernah ke rumah kami dan nggan membolehkan kami ke rumah kalian", ujar Bunda yang sepertinya sudah sangat curiga padaku dan Ines.

Our WeddingWhere stories live. Discover now