"Lo pikir gue nggak bisa kasar sama lo?", geram Raffa pada Raisa.

"Raf", aku berusaha menenangkan Raffa agar tidak menyakiti Raisa.

"selama ini gue diam karena Ines yang minta begitu, tapi kalau lo sampai nyakitin Ines lagi kayak kemarin, gue nggak akan tinggal diam", ancam Raffa pada Raisa. Raisa menciut di hadapan Raffa dan menangis tersedu.

"gue...gue nggak maksud bikin Ines celaka kayak kemarin. Gue tau gue salah, gue minta maaf. Gue takut terjadi sesuatu pada Ines. Gue beneran menyesal. Gue emang mau minta maaf sama lo Nes", katanya sambil terisak. Aku mengangguk dan memaafkannya begitu saja. Awalnya aku ingin marah, tapi aku ingat pada kehamilanku. Aku harus tenang dan tidak boleh terlalu banyak pikiran.

"kenapa kamu kayak begitu sama Raisa?", tanyaku tajam pada Raffa, "aku takut lihat kamu marah kayak tadi"

Raffa mengelus bahuku, "Nes, dia yang udah buat kamu celaka kayak kemarin. Kamu nggak tau kan gimana takutnya aku. Aku takut kehilangan kamu Nes"

*

*

*

*

Sebulan berlalu sejak kami mengetahui kehamilanku ini dan masih merahasiakannya dari kedua orangtua kami. Aku bahkan belum ke rumah Mamah lagi karena takut Mamah akan mengetahui kehamilanku ini. Bukan karena aku tidak ingin memberitahu mereka, tapi aku masih merasa belum siap dan masih ada perasaan takut di hatiku. Selama ini aku hanya mengabaikan semua pikiranku itu agar tidak terlalu stress.

"Nes, tas kamu mana?", ujar Raffa membuka pintu kamarku.

Aku meraih tas ranselku yang ternyata sangat berat tapi langsung diraih oleh Raffa, "ini berat, nanti kamu capek. Lagian kenapa semua buku paket kamu masukin ke dalam tas? Bawa yang seperlunya saja", ceramah Raffa padaku. Raffa memang menjadi lebih protektif padaku sejak dia mengetahui kehamilanku ini.

"buku paketnya juga kan perlu Raf", sambarku padanya. Raffa mengambil tasku dan menyampirkannya di bahunya, bertumpukan dengan ransel miliknya.

"kamu baik-baik saja kan?", tanya Raffa untuk kesekian kalinya di pagi ini. Aku mengangguk, meskipun sebenarnya aku merasa agak lelah tapi aku tetap harus masuk ke sekolah. Raffa memeluk tubuhku dari belakang, bisa kurasakan hembusan nafasnya di telingaku dan aku begitu menikmatinya. Aku menyukai aktivitas baru ini yang selalu Raffa lakukan setiap pagi, ketika Raffa memelukku seperti ini.

"aku sayang kamu", ujarnya lembut, "dan juga calon anak kita", dia menurunkan telapan tangannya, dan menyentuh bagian perutku yang kini tertutup oleh sweater longgar milikku. Setiap hari, aku selalu mengenakan sweater seperti ini saat ke sekolah dan aku hanya melepasnya saat berada di dalam kelas. Dian bahkan sampai bingung kenapa tiba-tiba aku jadi hobby mengenakan sweater seperti ini. Sebenarnya, ini hanya untuk menutupi segala ketakutanku saat berada di sekolah.

"Nes", panggilnya lagi.

"hm"

"jantungku berdebar, setiap kali menyentuhnya", katanya lagi sambil menyandarkan kepalanya di bahuku dengan manja.

Setelah beberapa detik, Raffa pun melepaskan pelukannya dariku dan menatapku dengan cemas.

"Nes, sudah empat bulan", katanya. Aku mengerti apa maksud dari perkataannya itu.

"kamu yakin bulan depan mau ikut ujian kenaikan kelas? Aku khawatir kehamilan kamu semakin besar nanti", ujarnya khawatir. Harusnya aku yang khawatir, tapi sepertinya Raffa jauh lebih mengkhawatirkan hal ini dibanding aku.

"semoga aja belum terlalu kelihatan", kataku berusaha menenangkan. Aku memang sudah memikirkannya. Lagipula tanggung sekali kalau aku tidak bisa ikut ujian kenaikan kelas, setelah itu libur kenaikan kelas dan mungkin aku tidak akan masuk sekolah lagi dan mengikuti perkataan Raffa untuk memulai homeschooling sampai aku melahirkan nanti.

Our WeddingWhere stories live. Discover now