"iya, ada apa ya ka?", tanyaku sesopan mungkin.

"oh jadi bener lo yang namanya Ines", katanya sinis padaku. Bisa kulihat Dian mulai terlihat tidak suka dengan Carissa.

Dia mendorongku dengan tangannya namun tidak membuatku terjatuh karena ada Dian yang menahanku, "lo jangan keganjenan deh jadi perempuan! Maksud lo apa dulu deket-deketin Dewa dan sekarang lo mencampakkannya begitu aja? Lo pikir Dewa itu apa? Lo pikir Dewa itu segampang diri lo? Dengar ya! Gue nggak suka lo perkakukan Dewa kayak begitu. Lo nggak tau kan gimana perasaan gue ke Dewa? Gue berharap banget Dewa mau menerima gue, tapi lo??? Lo seenak jidat lo membuang Dewa begitu aja! Emangnya Dewa kurang baik apa sama lo? Lo tuh bener-bener nggak tahu terimakasih ya? Terus sekarang apa? Lo jadian sama Raffa, mantan ketua OSIS itu? enak banget ya hidup lo! Bisa seenaknya gonta-ganti cowok sesuka lo! Emang benar ya, lo itu cuma sok polos! Lo sering godain laki-laki kan? Bla bla bla"

Carissa terus berbicara memakiku dan membuat kepalaku pusing mendengarnya bahkan beberapa orang mulai menatapku geram dan berkumpul menonton kami. Telingaku masih saja mendengar semua suara-suara itu, antara suara Carissa dan juga suara sumbang lainnya. Namun mataku menemukan sesuatu yang lain. Aku melihat Raffa menggendong Raisa dan berlari dengan wajah cemasnya.

"Arrrkkkhhh", aku berpegangan pada Dian dan memegang perutku, kurasa perutku kembali kram dan rasanya sangat menyakitkan. Aku hampir saja terjatuh ke lantai kalau saja seseorang tidak menangkapku.

"Ines!", aku bisa melihat Dewa mengangkat tubuhku dan dengan wajah cemas membawaku menuju UKS. Aku pun menggenggam erat pinggir lengan baju Dewa. Aku menggigit bibir bawahku dengan kuat demi menahan rasa sakitku.

Sesampainya di UKS, aku bisa melihat Raffa sedang menyelimuti Raisa dan entah kenapa perutku menjadi semakin sakit. Beberapa detik setelahnya aku tahu Raffa melihatku memasuki ruangan dengan Dewa.

"Ines!", pekiknya terkejut tapi aku lihat Raisa menahan tangannya. Sementara aku terus kesakitan, Raffa masih berusaha untuk melepaskan tangan Raisa yang menahannya dengan erat. Tidak ingin melepaskan Raffa begitu saja. Namun akhirnya Raffa melepaskannya dengan kasar.

BUGH.

"gue udah bilang kan, sekali aja lo sakitin Ines gue nggak akan tinggal diam!", keras Dewa pada Raffa memukul telak di wajah Raffa. Raffa tidak mempedulikan Dewa yang meledak-ledak dan berlari keluar UKS.

Raffa kembali ke ruang UKS dengan membawa sebotol air panas dan menghampiriku. Raffa menyentuhku, tapi entah kenapa aku justru menarik tanganku darinya. Aku ingin membalikkan badanku darinya, tapi aku bahkan tidak bisa bergerak karena sakit. Jadi aku hanya memalingkan wajahku dari Raffa. Air mataku pun mengalir tanpa bisa kuhentikan. Aku tidak tahu kenapa aku jadi sangat marah pada Raffa.

"Nes", ujar Raffa pelan.

Raffa meletakkan botol berisi air panas yang sudah dibawanya di atas perutku dan hanya diam di sampingku. Dewa juga sepertinya sudah pergi setelah Raffa datang kembali. Aku tidak tahu apa yang tengah dipikirkan Raffa. Tapi aku sama sekali tidak ingin melihat wajahnya. Jadi aku hanya menangis dan menutup mataku dengan tanganku.

Aku tidak tahu sudah berapa lama aku tertidur, perutku sudah tidak terasa sakit. Tapi ternyata Raffa masih duduk di sampingku. Menyandarkan kepalanya di sisi ranjang sambil menatapku. Dia langsung terbangun saat aku membuka mataku.

Aku kembali memalingkan wajahku darinya. Perasaan marah itu masih menguasai seluruh perasaanku. Aku sendiri tidak tahu mengapa aku sangat marah pada Raffa, padahal aku sendiri tahu bagaimana sifat Raisa. Bisa saja Raisa yang menjebak Raffa atau sebagainya. Tapi aku tetap merasa marah pada Raffa.

"aku ... mau pulang", kataku. Raffa langsung bangkit dari duduknya.

"ke rumah mamah", lanjutku lagi, membuat Raffa kelihatan cukup sedih mendengarnya.

Dia menyentuh lenganku, tapi lagi-lagi aku menepisnya, "Nes, kamu marah?", tanyanya pasrah.

Aku tidak menjawab. Kurasa jawabannya sudah cukup jelas.

"aku minta maaf", katanya dengan putus asa.

"aku antar kamu ke rumah mamah", katanya langsung menyetujui permintaanku tanpa basa-basi lagi. Persis sekali dengan sifat Raffa.

"aku mau naik taksi", balasku ketus.

"Nes, kamu boleh marah sama aku dan pulang ke rumah mamah. Tapi biarkan aku yang antar kamu. Aku nggak bisa biarin kamu naik taksi dengan kondisi kamu seperti ini", ujarnya tegas namun terdengar sedih.

"aku akan gendong kamu", terpaksa, aku membiarkan Raffa mengangkat tubuhku lagipula perutku masih terasa kurang enak. Sepanjang perjalanan ke rumah mamah, kami hanya berdiam diri dan aku lebih memilih menatap jalanan di luar jendela mobil. Sesampainya di rumah mamah, Raffa kembali mengangkatku sampai tempat tidur. Dia juga menyelimutiku.

"Raffa, Ines, kenapa?", tanya mamah cemas melihat aku yang diangkat Raffa dan juga kami yang saling diam.

"gapapa mah, aku tadi sakit perut mau menstruasi", jawabku pada mamah agar dia tidak terlalu khawatir. Mamah terlihat bingung melihat Raffa dengan wajah sedihnya dan berpamitan pulang.

Mamah masuk kembali ke dalam kamarku setelah mengantar Raffa ke depan rumah. Mamah mengelus kepalaku dengan sayang. Aku menangis di pangkuan mamah. Aku tidak tahu kenapa, perasaanku ini menjadi aneh tiba-tiba. Aku merasa sedih, kecewa, dan juga marah pada Raffa.

"kamu ada masalah apa sama Raffa?", tanya mamah sambil menghela nafas panjang.

Aku hanya menangis dan tidak menjawab pertanyaannya.

"kalau kamu nggak mau cerita juga gapapa", ujarmamah menghormati keputusanku, "tapi kamu harus inget pesan mamah. Kamu ituudah jadi istrinya Raffa. Kamu nggak boleh kayak anak kecil seperti ini. Kalauada masalah sama suami kamu, ya kamu harus selesaikan bersama. Bukannya pulangke rumah mamah seperti ini. Kasihan Raffa. Dia sendirian di rumah dan pastimikirin kamu. Tadi wajahnya sedih begitu", mamah menasihatiku seperti biasanya.Aku mengangguk, membenarkan apa yang diucapkan mamah.

Our WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang