*

*

*

*

Malam sudah cukup larut, namun aku dan Ines masih terjaga meskipun lampu kamar sudah dimatikan sejak dua puluh menit yang lalu. Seminggu ini aku memikirkan banyak hal dan merasa tidak cukup tenang. Terkadang, aku baru hanya akan merasa tenang jika sudah berdua dengan Ines.

"Raffa", Ines menyebut namaku.

"hm"

"kamu baik-baik saja kan? Tidak menyembunyikan apapun dariku?", tanyanya padaku seolah membutuhkan kepastian dariku. Apakah Ines berpikir bahwa aku menyembunyikan sebuah rahasia darinya?

"kenapa kamu berpikir begitu?", tanyaku pada Ines lembut, menyembunyikan segala keresahanku.

Ines menggeleng, "aku takut kamu sakit parah lalu menyembunyikannya dariku"

Aku tertawa pelan, "kamu kebanyakan nonton sinetron ya?", kuraih wajahnya dan membelainya selembut mungkin.

"Raf, entah kenapa aku merasa kita berdua sedang tidak baik-baik saja. Aku takut", katanya kalut. Aku mendekapnya erat, ternyata tidak hanya aku yang memikirkannya, Ines juga.

"Nes, aku ingin kamu", bisikku penuh makna, mengatakannya dengan suara yang cukup intens. Beberapa detik kemudian, Ines menarik leherku dan mencium bibirku dengan penuh hasrat. Aku tidak tahu apa yang kupikirkan saat ini. Tapi entah kenapa aku berpikir menginginkan dirinya saat ini mungkin bisa membuat pikiranku kembali jernih. Detak jantungku berdebar keras setiap kali aku mengecup setiap inci wajah Ines. Sejenak, aku melupakan segalanya. Seluruh pikiranku seolah hanya terisi oleh dirinya seorang. Tidak ada lagi keresahan atau apapun itu.

Aku menarik Ines lebih dalam lagi, menikmati setiap aroma tubuhku, atau bibir lembutnya, atau halus kulitnya. Ines mencengkeram punggungku saat aku memasukinya dan kuberikan ciuman lembut di bibirnya. Aku ingin kami bersatu, seolah tidak ada yang bisa memisahkan kami lagi.

"Arrrkkkhhh", jerit Ines cukup keras mengagetkanku di tengah aktivitas kami. Tangannya memegang perutnya dan tangan satunya lagi meremas bahuku.

"sayang, kenapa? Aku nyakitin kamu?", tanyaku cemas, kekalutanku seolah kembali datang memenuhi kepalaku. Aku terpaksa menjauhkan diriku dari Ines.

Ines menggeleng, "sakit Raf...", erang Ines menggigit bibir bawahnya.

Aku menjambak rambutku sendiri, frustasi dengan semua yang terjadi akhir-akhir ini. Aku merasa seolah diriku tidak bisa menjadi diriku sendiri apalagi untuk menjaga Ines. Kami berdua terus-terusan sakit belakangan ini.

"sayang, ayo ke rumah sakit", kataku hendak mengangkat tubuh Ines.

Melihatku yang seperti ini, Ines sepertinya berusaha mengatur nafasnya. Menahan rasa sakitnya sebisa mungkin. "Raf, seper...tinya...aku...hanyahh...kram...pe...ruthh", ucapnya parau. Tangannya masih memegang perutnya yang sepertinya sakit.

Oke. Tenang Raf. Aku menarik nafas dalam. Mencoba menenangkan diriku sendiri, karena pikiranku yang kacau hanya membuatku tidak bisa berpikir dengan benar. Pertama, tadi Ines bilang di kram perut. Lalu bagaimana cara mengatasi kram perut? Sebelumnya aku bahkan tidak pernah menangani hal seperti ini. Berpikir. Aku mengambil ponselku dan mengetik di search engine. Oke, ketemu.

Aku berlari ke dapur, mencari sebuah botol dan memasukkan air panas ke dalam botol. Setelah itu aku kembali berlari ke kamar Ines dan meletakkan botol berisi air panas tersebut di atas perut Ines. Ines kembali memegang erat lenganku. Aku menghapus keringat yang membasahi wajahnya, juga air mata yang mengalir di sudut matanya. Tanganku pun sampai gemetaran karenanya. Aku takut sekali terjadi sesuatu pada Ines.

Tangan Ines mulai mengendur di lenganku, "Raf, aku udah baikan", ucapnya lemas.

Aku langsung memeluk Ines dengan erat, entahlah setetes air mata mengalir di sudut mataku tapi aku langsung menghapusnya. Aku tidak ingin Ines melihatku menjadi lelaki yang paling lemah, "aku takut sekali"

Tubuh Ines terguncang. Aku tahu dia terisak karena tangisnya. Aku semakin memeluknya dengan erat, aku yakin sekali tadi Ines sangat kesakitan memegang perutnya. Mungkin karena usia pernikahan kami yang sudah mencapai lima bulan, perasaanku untuk menjaga Ines menjadi semakin kuat. Aku pun merasa sangat tertekan setiap kali Ines dalam kondisi yang kurang bagus.

Setelah agak tenang, aku membaringkan Ines kembali di tempat tidur. Merapihkan baju yang dikenakannya dan menutupinya dengan selimut agar semakin hangat. Malam juga sudah semakin larut.

"masih sakit perutnya?", tanyaku cemas. Ines menggeleng lemas.

"Raf, jangan tinggalin aku", pintanya padaku dengan gelisah. Aku tersenyum dan mengangguk. Setelah mematikan lampu kamar, aku berbaring di samping Ines. Kucium kening dan pipi Ines lalu membawanya ke pelukanku.

"aku mencintaimu, Nes"

Our WeddingWhere stories live. Discover now