2

14.1K 458 1
                                    


"Nes..", aku baru akan menyiapkan buku pelajaran untuk besok ketika Raffa mengetuk pintu kamarku. Kemudian Raffa membuka pintu kamarku, masuk begitu saja.

"aku lapar", adunya padaku.

Aku meletakkan kembali buku-buku di tanganku, "mau aku buatin mie rebus? Apa telor dadar?", jawabku, karena hanya itu yang bisa kumasak.

Raffa menggeleng, "ke rumah bunda yuk, makan di sana", ajak Raffa padaku.

Kali ini aku yang menggeleng. Aku akan sangat malu jika kami hanya meminta makan datang ke sana. Lagipula, mereka sengaja membiarkan kami tinggal sendiri agar lebih mandiri meskipun bukan berarti mereka melarang kami untuk pergi ke rumah mereka.

"kita beli makan aja", kataku akhirnya.

"kalau begitu, aku keluarin mobil dulu", ujar Raffa hendak beranjak dari kamarku.

"Raf, nggak usah. Kemarin aku lihat tukang nasi goreng lewat. Kita tunggu aja di depan", kataku padanya, "aku buatin coklat panas dulu ya, kamu tunggu aja di depan"

Aku pun beranjak ke dapur, sementara Raffa mungkin sedang duduk di balkon depan rumah. Sebenarnya aku pun masih belum bisa mengurus diri sendiri, tapi aku harus belajar untuk bisa apalagi aku juga harus memperhatikan Raffa. Mamah berkali-kali menasehatiku untuk selalu menyiapkan apapun yang diperlukan oleh Raffa. Kadang, aku juga kangen ketika mamah menyiapkan makan dan keperluan lainnya untukku.

Aku keluar dengan membawa dua gelas coklat panas untuk kami. Kulihat Raffa sedang asyik memencet tombol handphone nya. Aku memperhatikan Raffa dengan seksama. Kadang aku masih merasa takjub bisa tinggal bersama dengannya seperti ini. Aku merasa sedang bermimpi menikah dengan Raffa. Hidup kami ini jadi terkesan sangat lucu. Kami masih muda, masih manja, dan tidak bisa mengurus diri sendiri. Tapi kami dengan sombongnya belajar untuk menjalaninya.

"siapa?", tanyaku menyela Raffa yang masih asyik memencet tombol handphonenya.

"bunda tanya kita lagi apa", jawabnya.

"salam buat bunda ya", balasku. Raffa mengangguk.

Aroma harum dari coklat panas buatanku, membuatku ingin segera menenggaknya tapi sepertinya masih sangat panas. Aku mengaduk-aduk coklat panas milikku agar lebih dingin.

"Nes..."

"hmm"

"bagaimana perasaanmu seminggu ini?", tanya Raffa dengan nada yang cukup serius hingga aku harus memalingkan wajahku dari coklat panas dan menatap Raffa.

"baik", jawabku. Raffa menggeleng, "maksudku, setelah menikah denganku dan kita tinggal bersama", jelas Raffa lagi.

Aku menelan ludah. Sebelumnya kami memang tidak pernah berbicara serius seperti ini semenjak kami menikah seminggu yang lalu. Kami hanya menjalaninya begitu saja meskipun awalnya kami agak canggung, namun setelah seminggu berjalan kami pun sudah mulai terbiasa tinggal berdua seperti ini.

"banyak hal yang berubah", jawabku jujur. Raffa mengerutkan keningnya.

Aku memegang gelas coklat panasku hingga hangatnya menjalar di telapak tanganku, "aku harus terbiasa tinggal tanpa mamah dan ayah, belajar mandiri dan harus terbiasa dengan rumah ini juga dirimu"

Raffa menghembuskan nafasnya, "aku juga, maaf Nes.. ternyata menikah tidak semudah apa yang aku pikirkan, tapi aku janji akan buat kamu bahagia. Kita jalanin ini sama-sama ya?"

Aku mengangguk. Raffa menyesap coklat panas buatanku.

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam ketika kami selesai mengerjakan tugas sekolah kami masing-masing. Baru saja aku mau masuk ke dalam kamar, handphone ku berdering. Panggilan masuk dari Dewa. Raffa melirikku.

Our WeddingWhere stories live. Discover now