"kenapa kamu ke sini?", ujar Raffa berbisik dan sedikit merasa tidak nyaman. Tanpa menunggu jawabanku Raffa geleng-geleng kepala, "cepat sekali, kukira akan menunggu sampai jam pergantian pelajaran"

"sakit tidak?", bisikku pada Raffa.

Raffa menggeleng dan memberikan isyarat agar aku menjauh, "cepat kembali ke kelasmu!"

Aku menggeleng hingga Raffa menakutiku dengan mata galaknya, "cepat kembali atau kita akan ketahuan!"

Dengan sangat terpaksa akhirnya aku pergi meninggalkannya dan kembali ke kelasku. Sisa kelas hanya ku habiskan dengan melamun tak jelas. Aku tidak mungkin kembali lagi ke UKS karena Raffa tidak akan suka jika aku ke sana. Lagipula dia hanya luka ringan.

Bunyi bel istirahat membuatku bersemangat untuk keluar dari kelas. Aku sengaja berjalan memutar melewati UKS untuk melihat apakah Raffa masih berada di sana. Nihil. Raffa sudah tidak ada dalam ruang UKS.

"lo nyariin siapa nes?", tegur Dian padaku. Aku menggeleng dan menunjukkan deretan gigiku padanya.

"ayo ke kantin cepet, gue udah laper berat", aku menarik lengan Dian menuju kantin dengan cepat.

Setelah memesan semangkuk bakso dan es jeruk, aku dan Dian mencari tempat duduk dengan posisi yang cukup enak. Tapi kemudian Dian menyenggolku, memberiku kode untuk melihat ke suatu arah.

"Raf..fa", bisiknya di telingaku.

Raffa, dengan masih menggunakan baju olahraganya masuk ke dalam kantin. Raisa, perempuan yang cukup populer dan berusaha keras mendekati Raffa dengan berbagai cara ada di samping Raffa.

"sini, aku bantu jalannya", ujar Raisa dengan wajah bak malaikatnya. Membuatku cukup geram padanya.

Raffa menggeleng, "gapapa, gue bisa sendiri"

Aku tersenyum menang mendengar jawaban Raffa pada Raisa.

"Nes, liat tuh si Raisa sok deketin Raffa", kesal Dian padaku sambil berbisik.

"eh, Raffa ngelirik elo tuh", aku yang baru saja menyuap bakso hampir tersedak ketika mendengar ucapan terakhir Dian.

Aku menyodorkan mangkuk bakso milik Dian padanya, "udah dimakan tuh baksonya, jangan ngeliatin Raffa mulu"

"Nes, gue tahu kok kalo lo suka sama Raffa. Ga usah jaim segala sama gue", katanya meledekku sambil memotong bakso dan melahapnya. Aku sengaja tidak menjawab perkataan Dian dan hanya melanjutkan melahap baksoku.

"gue boleh duduk di sini?", suara yang sudah sangat kukenali menghentikan makanku. Dewa meletakkan mangkuk soto nya dan duduk di hadapanku tanpa menunggu jawabanku dan Dian.

"eh kak Dewa, bilang aja mau deket-deket Ines", canda Dian padanya. Dewa hanya tertawa dan melirikku yang mencubit lengan Dian. Dewa memang beda satu tahun di atas kami. Dian benar, aku tahu betul jika Dewa sedang berusaha untuk mengambil hatiku.

"Nes, minggu ini ada acara nggak?", tanya Dewa padaku.

"maaf kak, aku udah ada janji sama mamah", jawabku sekenanya.

"kalau hari sabtu?", tanyanya lagi.

Aku menggeleng, "nggak bisa juga kak"

Dewa menyeruput minumannya, "aku sudah tahu, pasti kamu nggak pernah bisa. Kalau begitu, kamu nggak boleh nolak kalau aku anterin kamu pulang ke rumah"

Aku menghentikan makanku, "tapi kak.."

"nggak boleh ada tapi- pokoknya nanti aku anterin kamu pulang"

Matilah sudah. Aku tidak bisa lagi menolak tawarannya karena sudah terlalu banyak beralasan pada Dewa. Sialnya lagi, kelasku keluar terlambat dari jadwal seharusnya. Sementara Dewa sudah menungguku di depan kelas.

"ayo pulang", katanya dengan penuh senyum.

Sampai di depan rumah, aku langsung berterimakasih pada Dewa tanpa menawarkannya untuk sekedar mampir dahulu. Aku tahu, meskipun aku tidak memintanya untuk masuk ke dalam rumah, Dewa sudah cukup senang bisa mengantarku pulang ke rumah.

"assalamualaikum", ucapku ketika masuk ke dalam rumah.

"waalaikumussalam", terdengar suara balasan mamah dari dalam.

"Ines?", tanya mamah bingung ketika melihatku.

"kamu ngapain?", tanya mamah lagi padaku.

Aku nyengir kuda pada mamah dan menceritakan apa yang terjadi. Mamah geleng-geleng kepala kemudian menasehatiku berkali-kali bilang kalau tidak boleh seperti itu lagi.

"yaudah kamu mau makan dulu nggak?", tawar mamah padaku.

"aku bungkus aja ya mah.."

"kamu makan aja di sini, itu kayaknya Raffa pulang", ujar mamah ketika ada ketukan dan salam dari luar. Mamah membukakan pintu sementara aku langsung ke meja makan.

"kamu baru pulang Raf?", ujar mamah.

"iya mah"

"yaudah kamu makan aja dulu, udah mamah siapin"

Raffa melirikku dengan wajah masamnya namun aku hanya nyengir kuda padanya. Kami diam saja selama makan, Raffa pun tidak bertanya apapun padaku. Mamah yang memperhatikan kami hanya geleng-geleng kepala.

Baru saja aku hendak tidur-tiduran, Raffa meminta izin pada mamah, "kami langsung pulang ya mah"

Raffa mengambil tasku dan keluar rumah begitu saja. Aku langsung pamit pada mamah dan mengejar Raffa keluar rumah. Aku masuk ke dalam mobil dan hanya menunggu Raffa bicara. Namun Raffa tidak juga bicara hingga kami sampai di sebuah rumah mungil. Raffa keluar dari mobil, aku pun bergegas turun dari mobil dan menghampiri Raffa. Aku mengalungkan tanganku di leher Raffa dengan manja, "aku minta maaf", bisikku.

Raffa langsung memelukku dengan hangat, pelukan yang selalu membuatku nyaman. "rasanya aku kesal sekali melihat si Dewa itu"

"aku juga kesal melihat Raisa yang selalu mencari perhatianmu", balasku padanya. Kami sama-sama tersenyum dan tertawa.

Aku mencintai Raffa. Raffa bilang, dia juga mencintaiku oleh karena itu dia menikahiku. Ya, kami menikah di usia kami yang baru 16 tahun, aku bahkan belum mencapai 16 tahun. Kami baru saja memasuki kelas XI SMA. Semua terjadi begitu cepat. Pernikahan kami tidak terjadi karena adanya 'kecelakaan' ataupun sebagainya. Tapi lebih karena keputusan Raffa yang memilih untuk menikahiku daripada berpacaran. Raffa bilang dia akan mencari kerja setelah lulus SMA nanti, tentunya sambil tetap melanjutkan kuliahnya. Awalnya aku pun tidak ingin menikah muda seperti ini, tapi Raffa meyakinkanku dan akupun akhirnya setuju. Kami belum mandiri. Uang saku pun masih meminta dari orangtua kami. Rumah mungil ini, hadiah dari kedua orangtua kami. Mereka membiarkan kami untuk tinggal bersama di rumah ini dan berkali-kali menasehati untuk tidak melakukan hal yang tidak diinginkan, hamil ditengah masa sekolahku misalnya. Karena berbagai alasan pun, kami merahasiakan pernikahan kami dari lingkungan sekolah.

"bagaimana tadi setelah dibonceng Dewa?", ujar Raffa yang sepertinya masih kesal padaku.

Aku memasang wajah cemberut sambil membuka sepatu dan kaus kakiku, "aku sudah menyiapkan berbagai alasan tapi aku malah terjebak dan tidak bisa menolak lagi", gerutuku pada diriku sendiri.

"Nes", Raffa memegang tenggorokannya, meminta minum. Akupun segera masuk ke dapur dan mengambilkan segelas air dingin untuk Raffa.

"gimana kakinya?", tanyaku melihat lutut Raffa yang masih tertutup kain kassa.

"perih sedikit", jawabnya santai.

Aku menawarkan tanganku pada Raffa, membantunya bangun dari duduk, "ganti baju terus istirahat aja", kataku. Raffa hanya tersenyum memperhatikanku.

"Nes", ujarnya, "makasih udah mau nikah sama aku"

Our WeddingOnde as histórias ganham vida. Descobre agora