Prolog

12.5K 1.1K 54
                                    

Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.


 

IG @Benitobonita


 

Cahaya surya sore hari menyusup di antara dedaunan segar musim semi dan memberi penerangan secukupnya pada kawasan hutan yang hamparan tanahnya sebagian besar masih dilapisi oleh rerumputan juga ilalang liar. Napas Lilian menderu seiring dia mempercepat lari kedua kakinya yang terlindungi oleh sepatu bot kulit binatang. 

Bunyi gesekan antara mantel tipis hijau tua sebetis miliknya dengan belasan atau bahkan puluhan pohon pinus raksasa yang tumbuh cukup rapat satu dengan lainnya, terus merangsek masuk ke dalam indra pendengaran gadis berambut merah sepunggung itu. 

Kepala Lilian kembali menoleh ke balik bahu untuk melihat ke belakang dan matanya kini melebar, menunjukkan rasa takut kala melihat makhluk yang tingginya mencapai dua meter itu semakin mendekat.

"Gadis Kecil ..., aku akan mencabik-cabik tubuhmu," ucap sosok yang menyerupai serigala hitam raksasa itu. Lilian seketika kehilangan konsentrasi. Dia tidak melihat tanah merah becek yang dilaluinya dan memekik kala terjerembab akibat menyandung sebuah batu cukup besar yang mencuat dari sana.

Namun, Lilian mengabaikan rasa sakit juga bercak tanah pada wajah, gaun hijau pucat, dan mantel yang dia kenakan. Gadis itu segera mengangkat tubuhnya dengan kedua lengan, lalu berbalik hingga terduduk. Dia kemudian meluruskan telapak tangan kanan ke arah monster berkaki dua yang kini tinggal berjarak beberapa meternya sebelum berteriak lantang, "Bola Cahaya!"

Mata  kuning keemasan si siluman raksasa melebar terkejut waktu kumpulan energi berbentuk bola merah tembus pandang berukuran buah semangka, tercipta dari telapak tangan Lilian dan memelesat, menghantam kepalanya sehingga terentak ke belakang. Penyihir perempuan itu menelan ludah. Dia mencuri kesempatan untuk melepehkan percikan tanah yang sempat masuk ke dalam mulutnya. 

Pertarungan belum usai ..., perbedaan tenaga mereka terlalu jauh ....

Prediksi Lilian benar terjadi. Wajah gadis itu memucat dan matanya semakin melebar ketakutan kala sang monster kembali menegakkan punggung, lalu menyeringai ke arahnya. 

Liur menetes turun dari antara taring kekuningan saat siluman itu menjilat bibirnya yang sempat terbakar oleh cahaya sihir kemudian menyeringai lebar. "Aku akan memakanmu hidup-hidup dan membunuh semua penyihir, hingga ras Gwyllgilah yang akan memerintah negara ini ...."

Lilian yang masih terduduk di atas tanah dengan kedua kaki tertekuk, memekik histeris. Dia segera menyilangkan kedua lengan untuk melindungi kepalanya ketika sang siluman mengayunkan cakar ke arah gadis berusia enam belas tahun itu.

"Epimiki Kladia!"

Teriakan seorang laki-laki membuat Lilian mengangkat wajah. Pandangan gadis itu kabur akibat air mata. Meskipun begitu, dia masih dapat melihat sesosok pria berambut merah yang memakai mantel persis seperti miliknya, sedang melompat tinggi sambil membelit leher sang monster dengan sulur tanaman yang memelesat dari pepohohan.

"Kakak!" jerit Lilian penuh kelegaan. Dia berusaha bangkit dengan kedua kakinya yang goyah. Namun, rasa gembira itu seketika digantikan khawatir kala indra penglihatannya menangkap jejak darah merah yang membasahi tanah juga rumput yang dilalui oleh laki-laki yang dipanggil Kakak oleh Lilian. 

Tubuh Lilian kembali gemetar saat menyaksikan kakaknya yang sudah terluka di banyak tempat itu berayun kencang di punggung sang siluman yang berusaha membebaskan diri. Monster itu lagi-lagi mengayunkan cakar ke penyihir laki-laki yang masih membelitkan sulur ke lehernya yang ditutupi bulu hitam.

"Pergi!" Penyihir laki-laki itu berseru ke arah Lilian yang bergeming di tempat, sebelum jari-jari sang siluman berhasil menembus lengan kirinya sehingga dia memekik kesakitan. 

Air mata Lilian seketika tumpah. Kakaknya akan tewas, dia harus menolong ....

Lilian kembali mengangkat tangan kanan untuk menembakkan Bola Cahaya ke arah sang monster. Namun, kakak gadis itu malah berseru nyaring, mengabaikan rasa sakit yang menderanya. "Pergi! Gadis Bodoh!" 

Siluman Anjing Neraka meraung. Dia memutar kepala dan hendak menggigit putus leher penyerangnya. Namun, belum juga niatnya terpenuhi, penyihir itu telah berseru terlebih dahulu. "Styrim!"

Sebuah lingkaran sihir raksasa berwarna merah kecokelatan dengan simbol bintang lima titik tiba-tiba terbentuk pada tanah yang dipijak oleh si monster raksasa dan seketika berubah menjadi pasir yang menghisapnya dengan kecepatan tinggi. Namun, Anjing Neraka tetap mencoba meloloskan diri dengan  terus-menerus mengayunkan kedua tangan raksasanya ke arah laki-laki yang masih mencekiknya dengan sulur tanaman. 

Sebuah sabetan akhirnya berhasil menebus punggung penyihir itu. Jeritan histeris Lilian terdengar kala mata kakaknya membeliak lebar. 

Tubuh sang penyihir yang tidak lagi bernyawa, jatuh, terhisap oleh pasir buatannya sendiri, sedangkan si siluman dengan bagian dada yang masih menyembul di permukaan, mencakar-cakar tanah sekitar sambil melolong panik. 

Lilian menggigit bibirnya yang bergetar. Area pasir hisap semakin mengecil akibat kakaknya telah tewas. Monster itu pasti sebentar lagi dapat meloloskan diri. Dia harus segera melarikan diri apabila masih ingin hidup. Ayah mereka harus mengetahui apa yang baru saja terjadi! 

Lilian memutar tubuh dan berlari kencang menjauhi tempat itu. Hujan yang telah berhenti turun kala pagi hari tiba, kembali menetes membasahi bumi Puerro dan mengaburkan aroma alam. Dia segera masuk di antara semak-semak tinggi yang berada tidak jauh darinya sebelum dirinya berbisik, "Kamaoflaz ...."

Sihir level dua elemen tanah penyihir itu berhasil diaktifkan. Lilian tidak lagi terlihat bagi mata telanjang manusia maupun siluman. Walau demikian, rasa takut membuat dia berjongkok agar dapat bersembunyi di antara tanaman liar yang rimbun, lalu mulai kembali terisak. 

15 Maret 2022

Benitobonita

Kebangkitan Penyihir [ Buku 2 Puerro Series ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang