VI. SECRET BOOK AND MEMORIES

Start from the beginning
                                    

“Bagaimana aku bisa membacanya? Apa aku minta kak William untuk mengajariku?”

‘Ddrrtt….’
Ponsel hitam gelap yang berada tak jauh dari tangannya bergetar. Dahinya berkerut melihat notifikasi panggilan di layar ponsel. Sebuah nomor tak dikenal.

“Siapa yang menelpon malam-malam begini?”

‘Mungkin hanya orang iseng.’

Gadis itu mengedikkan bahunya, tak peduli. Ponselnya itu berhenti bergetar. Tiara kembali fokus dengan kegiatannya tadi. Ia beralih ke buku lainnya. Buku kedua tampak lebih lusuh dan usang. Banyak debu yang menutupi bagian sampul. Tangannya bergerak membersihkan sampul buku tadi sambil sesekali meniupnya.

Ponselnya kembali bergetar dengan panggilan dari nomor yang sama. Tiara berdecak kesal. Ia segera mengangkat panggilan tadi.

“Halo.”

“….”

Hening. Tak ada jawaban dari seberang telepon.

Yeobseyo.”

“…."

Tiba-tiba si penelpon tadi menutup panggilannya. Tiara hanya terdiam sambil menatap layar ponsel. Aneh.

“Apa dia berniat menakutiku?”

Tiara kembali meletakkan ponselnya. Tangannya bergerak membersihkan buku kuno tadi. Buku bersampul 'The Power of Darkness' itu memiliki bentuk yang unik. Ukiran bunga mawar dengan gaya minimalis yang ada di bagian sampul tampak nyata. Tiara belum pernah melihat cover buku seperti ini sebelumnya. Dia mencoba membuka buku tadi, tapi buku itu tak bisa dibuka.

“Apa ada cara khusus untuk membukanya?”

Netra biru sapphire-nya mengamati setiap ukiran di buku tebal itu. Ada sesuatu yang aneh. Ukiran-ukiran dalam sampul buku itu berpusat pada sebuah simbol yang ada di bagian tengah sampul depan.

Telinganya menangkap suara mobil memasuki pekarangan basemen. Dia melirik jam weker digital yang berada di atas meja di samping tempat tidur. Pukul setengah satu.

“Sial. Ini sudah lewat tengah malam.”

William akan marah jika tahu Tiara tidur terlalu larut. Ia buru-buru menyembunyikan buku tebal tadi di bawah bantal. Kemudian, gadis cantik itu menarik selimut dan pura-pura tidur. Suara pintu yang dibuka membuat jantungnya berdebar kencang. William berdiri di ambang pintu sambil menatapnya cukup lama.

“Sudah tidur rupanya.”

Pria bertubuh tinggi itu melangkah mendekat dan menghidupkan lampu tidur di samping ranjang.

“Good night, Ara.” ujar William sambil membelai rambut gadis itu pelan.

Lalu, dia berjalan keluar ke arah pintu. Tangan besar milik William menekan saklar lampu yang otomatis membuat lampu di kamar gadis itu mati . Setelah pria itu menutup pintu, Tiara perlahan membuka matanya. Netra biru itu menatap lampu tidur di samping tempat tidurnya.

“Apa kau memang perhatian pada orang lain? Atau … hanya padaku?”

***


Kedua obsidian kelam itu menatap salju putih yang turun perlahan dari kaca jendela kamarnya.

“Apa yang kau pikirkan, Kak?” tanya Evan yang tengah duduk di sofa sambil menyesap cangkir berisi darah di depannya.

Pria yang dipanggilnya itu hanya melirik adiknya sekilas, tak berniat menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Evan. Dia kembali menatap keluar jendela.

“Tidak ada."

“Kita berdua sudah hidup bersama selama ratusan tahun. Ah— tidak. Ribuan tahun. Jadi ... aku tahu kau sedang berbohong atau tidak.”

“Aku ingin keluar,” ucap Louis sambil berjalan keluar dari kamarnya.

“Aku ini belum selesai bicara— Dasar.”

Evan kembali menikmati minumannya. Ia mengaduk cairan merah dalam cangkir dengan jari telunjuk. Kemudian, ia membersihkan darah dari jari telunjuk itu dengan lidahnya sendiri.

“Akan lebih enak jika diminum langsung jari pemiliknya,” keluh Evan.

Louis berjalan ke arah danau yang letaknya berada di belakang kastil. Danau ini merupakan tempat favoritnya sejak kecil. Ajaibnya, air di danau itu tidak membeku padahal saat ini musim dingin dan salju turun terus menerus. Di tempat ini Louis bisa melepaskan semua beban pikiran dan masalahnya. Tempat ini juga menyimpan kenangan terpendamnya bersama seseorang.

Mata onyx hitam itu kini terpejam. Seulas senyuman tipis muncul di bibirnya. Ia sama sekali tidak mempedulikan terpaan angin dingin dan salju yang mulai menutupi sepatunya. Tubuhnya yang sedingin es itu mematung di pinggir danau. Iris kelam itu kembali terbuka saat mengingat sebuah kenangan. Ingatan bersama gadis yang membuatnya menjadi seperti ini. Cinta pertamanya.

“Aku merindukanmu.”

🌷🌷🌷


Note :
*Yeobseyo artinya Halo (biasa dipakai pada percakapan di telepon.)

Two Princes of Vampire Kingdom ✓ Where stories live. Discover now