Ia juga baru tahu, kalau selama ini Kakaknya telah mempunyai pacar, dan mereka telah berhubungan selama tiga tahun lamanya tanpa diketahui oleh siapapun. Sungguh, Olivia salut pada Milo yang dapat menyembunyikan sesuatu sampai tidak terendus oleh orang-orang terdekatnya.

Kembali ke Olivia, karena menggunakan lift terlalu lama, ia memutuskan untuk menggunakan tangga darurat. Sesekali Olivia merogoh tasnya untuk mengambil ponsel.

Setelah ponsel didapat, ia melihat 43 panggilan tak terjawab dari Oliver. Menghiraukannya, ia membuka kontak Fino dan meneleponnya, berharap lelaki itu akan mengangkatnya.

Maaf, nomor yang anda tuju sedang sibuk atau seda—

Olivia langsung mematikannya saat suara operator berbicara. Pasti, Fino marah padanya.

Dengan air mata yang masih menempel di pipi, Olivia segera berlari.

Kafe yang Fino sebutkan tidak jauh dari kantor Milo.

Olivia mencoba untuk tenang dan tidak panik. Ia menghapus air matanya, kemudian berlari. Ia tahu ini gila, tapi entah mengapa perasaannya mengatakan bahwa Fino masih berada di kafe.

Ia berlari melewati kerumunan orang-orang yang berjalan. Hingga dalam waktu lima belas menit, akhirnya ia menemukan kafe yang Fino maksud.

Kafe Kookie.

Kafe yang cukup terkenal karena kopinya yang khas serta cookies coklatnya yang melumer, membuat Olivia jadi lapar sendiri dibuatnya.

Ia memegang kedua lututnya karena lelah berlari. Mengambil napas sebanyak-banyaknya, Olivia mulai mengedarkan pandangannya. Tampak Fino yang masih duduk di dekat kaca jendela sedang termenung. Namun, hal itu tidak berlangsung lama karena ia berdiri, dan pergi meninggalkan kafe itu dengan wajah yang muram.

"Fino!" panggil Olivia dengan berteriak. Berharap lelaki itu bisa mendengarnya.

Diseberang sana, Fino menengok dan mendapati Olivia dengan wajah memerah.

Mengapa disaat Fino telah berhenti berharap, Olivia datang lagi padanya?

Menunduk, lelaki itu memikirkan keputusannya. Ia menggeleng dan pergi meninggalkan Olivia. Suara klakson mobil yang dibunyikan berkali-kali cukup memekakan telinganya, yang mau tak mau membuat Fino penasaran apa yang sedang terjadi.

Disana, Olivia sedang menyebrang sedangkan dari arah berlawanan, ada sebuah minibus yang berjalan dengan kecepatan tinggi.

Bergegas Fino berteriak memanggil nama Olivia dan langsung berlari, ia mendorong perempuan itu agar tidak tertabrak.

Namun sayang, nasib nahas menimpa lelaki itu, minibus yang berjalan dengan kecepatan tinggi menabrak dirinya, hingga Fino terpental beberapa meter.

Olivia yang terdorong dan melihat kejadian itu segera berdiri, hatinya sakit saat melihat Fino yang terkapar di jalan raya. "Fino!" teriaknya menahan tangis, ia berjalan dengan langkah kaki terseret-seret karena celana jins dibagian lututnya robek dan melukai kulitnya.

Ya Tuhan.

Bagaikan semut yang menemukan setumpuk gula, Fino dikerumuni oleh beberapa orang. Olivia melihat mobil yang menabrak lelaki itu berhenti tepat di pembatas jalan dengan keadaan bagian depan hancur.

Olivia melewati kerumunan orang yang melihat Fino terkapar, dan saat ia berada tepat di bagian depan kerumunan, Olivia menutup mulutnya, dan berjongkok. Ia meletakkan kepala lelaki itu pada pahanya, tidak peduli kalau bajunya kotor akan darah.

"Fino," panggil Olivia dengan terisak.

"Dahi lo berdarah, Oliv," ucapnya sambil tersenyum menahan sakit, tangan kanan lelaki itu menggapai dahi Olivia dan mengusapnya perlahan.

Meet In the Real LifeDonde viven las historias. Descúbrelo ahora