Akhir Pertama - 10

98K 8K 188
                                    

Dean POV

Siapa yang tidak akan bingung jika tiba-tiba diakui sebagai pacar Gita di saat tujuan utamaku datang ke rumah Iky adalah untuk memberikan tanda pelunasan pembayaran tempat resepsi pernikahannya mendatang?

"Tenang aja. Aku cuma bohong. Kamu bukan tipe aku kok, Git." Aku langsung mengutuk ucapanku barusan. Perasaan aneh yang muncul ketika berdekatan dengan Gita membuatku kehilangan kewarasan dalam berkata-kata.

"Ah, iya. Pastinya bercandaan doang. Bang Dean juga bukan tipe aku. Ketuaan, sih." Tawa Gita membuatku merasa tersudutkan.

Apanya yang tua? Usia kami hanya terpaut enam tahun. Mama dan papaku terpaut usia dua belas tahun, tetapi mereka mampu menghasilkan dua bibit unggulan seperti aku dan Bagas.

"Ini. Kasih ke Iky, ya. Aku pamit dulu. Atau sandiwaranya mau dilanjutin, nih?"

Pertanyaanku dibalas dengan tatapan aneh dari Gita.

"Ngomongin apa toh, Nduk? Bentar lagi maghrib, endak baik ada di luar rumah. Dean shalat di sini aja, ya. Nanti kita makan malam sama-sama." Wanita yang disapa Eyang itu tiba-tiba bergabung bersamaku dengan Gita.

"Eyang, Bang Dean ini lagi sibuk-sibuknya jadi dia mau langsung pulang," ucap Gita sambil melebarkan matanya seakan menyuruhku untuk mengiyakan pernyataannya. Aku tidak berniat melakukan hal yang gadis itu harapkan. Lagi pula aku melihat ini sebagai kesempatan untuk membalas perbuatannya dalam mengabaikanku di kantor Radit tadi.

"Sayang, benar juga kata Eyang kamu. Udah mau maghrib. Aku shalat di sini aja deh kalau gitu. Kan biasanya juga kalau hari Selasa aku main ke sini sampe jam sembilan malam. Kamu lupa, ya?"

Gita melebarkan matanya ketika aku selesai dengan kalimatku. Wajahnya memerah. Pembalasanku belum berhenti, aku memaksimalkan kesempatan ini dengan cara merangkul pundak mungilnya. Ini adalah balasan atas kelancangannya bergelayut di lenganku beberapa menit yang lalu.

"Nah, itu udah adzan. Yuk, ke dalam." Eyang segera masuk kembali ke dalam.

"Pulang aja deh, Bang. Udahan mainnya."

"Nanggung, Git. Udahlah aku numpang maghrib di kamar Iky." Tidak menghiraukan Gita yang sepertinya akan kembali dibakar oleh kemarahan. Aku segera melangkah menuju ke arah kamar Iky.

***

"Gita! Makan malam dulu," teriak Tante Ranti, ibu dari Iky dan Gita dari ruang tengah rumah mereka.

Gita memang tidak lagi menampakkan dirinya sejak adzan maghrib berkumandang.

"Aduh, tumben si Gita enggak makan malam. Panggil, Bang, adik kamu. Eyang nanti kemaleman nyampe rumah kalau makan malamnya lama gini."

"Ya udah, makan duluan aja kali, Ma," saran Iky.

"Lah kamu ini kaya nggak tau Eyang kamu aja. Tuh, liat. Dari tadi berapa kali dia nata ulang piring. Dia kangen banget sama kalian, pastinya mau makan bareng."

"Panggil sono, Ian. Pacar lo tuh budek kali." Aku memaklumi sikap Iky satu ini. Dalam beberapa momen, dia benar-benar malas bergerak.

"Ngambek kali ya, pacar gue," balasku meladeni candaan Iky dengan menjuluki Gita sebagai pacarku.

"Mama tunggu di ruang makan, ya." Tidak mau ambil pusing, Tante Ranti telah berjalan terlebih dahulu ke ruang makan.

"Lo aja yang panggil, Ky. Enggak enak gue ke kamar anak gadis," ucapku asal.

"Gita kalau malam jadi laki. Aman. Mager banget gue, Ian. Pegel habis nemenin Maudy nyari info dokumentasi acara."

Raut wajah lelah itu semakin terlihat diri di wajah Iky. Ekspresi yang membuatku tidak dapat kembali mengelak. Dengan setengah hati, aku beranjak untuk menaiki satu per satu anak tangga. Kamar Gita terletak tidak jauh dari kamar Iky.

Akhir Pertama [Segera Terbit Open PO]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt