Akhir Pertama - 04

115K 10.2K 189
                                    

Dean POV

"Bang, jangan lupa ke acara Om Herman, ya. Sekalian, titip selamat buat Radit. Hari ini, di sekolah Bagas ada pertemuan wali murid." Mama menyambut kedatanganku di ruang makan dengan pesan yang sudah kuprediksi akan beliau titipkan.

"Iya, Papa juga titip salam aja, ya. Ada meeting penting hari ini," timpal papa yang mendahuluiku menyantap sarapan.

"Bagas nggak sekalian titip salam?" tanyaku pada adikku satu-satunya itu yang saat ini telah berada di tingkat akhir SMA.

"Gue titip salam ke Kak Sinta aja," jawab Bagas dengan santai.

"Kapan Sinta mau diseriusin, Bang?" Ucapan Bagas berhasil memancing pertanyaan Mama.

"Apa yang mau diseriusin, Ma. Kan cuma rekan kerja," jelasku sambil mempercepat kegiatan sarapan. Topik pembicaraan ini mulai membosankan bagiku.

"Sebagai wanita, Mama bisa lihat kalau Sinta punya ketertarikan sama kamu. Apa salahnya coba dekat dulu? Itu teman-teman kamu, rata-rata mereka udah pada nikah loh, Bang. Nunggu apa lagi?" Tatapan meledek dari Bagas atas ucapan panjang lebar khas Mama mendukung suasana di ruang makan ini terasa semakin mengganggu.

"Abang pergi dulu ya, Ma, Pa, Gas. Takut keburu macet." Berpura-pura tidak mendengar perkataan Mama selanjutnya adalah cara berpamitan yang tidak sopan, namun tetap harus dilakukan.

Ini adalah salah satu bentuk derita seorang pria terbilang mapan di usia yang sudah matang. 'Kapan menikah' adalah pertanyaan yang sudah menjadi sarapan setiap harinya.

***

"Sinta, untuk hari ini, cancel semua meeting. Kamu pasti tau kenapa." Setelah selesai dengan kewajiban menandatangani beberapa berkas laporan keuangan bulan ini, aku langsung memberikan Sinta pekerjaan selanjutnya.

"Apa saya harus ikut menemani, Pak?" tanya Sinta. Sebagai salah satu karyawan kepercayaanku dengan jam terbang menjabat sebagai sekretaris sekitar 5 tahun, seharusnya Sinta tidak melontarkan pertanyaan tersebut. Dia merupakan sekretaris yang bahkan bukan hanya mengatur segala jadwal dan seluk beluk pekerjaanku di kantor ini, dia juga merangkap sebagai pusat informasi kehidupanku di luar kantor.

"Terserah, sih. Tapi, saya lebih ngerasa nyaman kalau sendiri." Jawaban ini akan dirasa dingin oleh sebagian perempuan, namun itu tidak akan berlaku bagi Sinta. Kemahirannya dalam mengolah perasaan adalah salah satu hal yang membuatku menilainya sebagai pegawai yang kompeten.

"Tapi, tadi Bu Ani bilang, saya harus menemani Bapak."

"Ya, saya kan bilang terserah kamu." Lagi-lagi, Mama memainkan perannya dengan sangat baik. Beliau memang terbiasa mengatur segala keadaan serapi mungkin agar aku berdekatan dengan Sinta.

"Kalau begitu, saya bersedia menemani Bapak. Apa saya harus berganti pakaian terlebih dahulu, Pak?" Pertanyaan Sinta mengakibatkan perhatianku tertuju ke arahnya.

"Tentu, silakan ganti pakaian kurang bahan kamu itu dengan pakaian yang lebih tertutup." Perintahku kali ini disambut anggukan cepat olehnya. Beberapa detik kemudian, dia berpamitan keluar dari ruanganku.

***

Acara yang diselenggarakan oleh sepupuku ini tergolong sederhana untuk standar penyambutan seorang direktur baru. Jalanan yang dipadati oleh banyak kendaraan membuat aku dan Sinta tiba di sini ketika para pegawai sedang memberi ucapan selamat kepada Radit.

Radit merupakan salah seorang sepupuku dari keluarga Mama. Menjadi lulusan terbaik universitas terakreditasi sangat baik di New York membuat sosoknya pantas dengan jabatan yang dia miliki sekarang.

Akhir Pertama [Segera Terbit Open PO]Where stories live. Discover now