Akhir Pertama - 08

100K 8.2K 79
                                    

Dean POV

Aku tidak mengerti dengan hal yang sedang dilakukan Gita saat ini. Dia tiba-tiba saja datang, meluapkan amarah, dan menendang kakiku dengan sepatu runcingnya. Tidak berhenti di sana, dia melanjutkan sikap anehnya dengan mendaratkan beberapa pukulan dari tas di bahuku.

Dia mengomeliku dengan suaranya yang terdengar melengking. Apa dia mendengar seluruh percakapan antara aku dan Sinta?

"Gita! Udah dong. Aku salah apa?"

"Salah apa? Kamu tuh ya, masih nggak ngerasa bersalah? Liat, tuh! Liat!" Gita tetap tidak berhenti dengan kegiatan penganiayaan ini. Dia hanya mengarahkan beberapa kali tatapan kepada Sinta.

"Udah, Mbak. Ini memang salah saya. Bukan salah Pak Dean." Kegaduhan ini seharusnya memang tidak terjadi. Sinta yang bersuara mulai menjauhkan Gita dariku.

"Maaf. Ini memang salah saya, Mbak. Saya yang memang terlalu berlebihan menanggapi sikap Pak Dean. Dan memang saya sudah sangat keterlaluan dengan mengaku kepada orang tua saya kalau Pak Dean sudah melamar saya." Penjelasan dari Sinta diikuti dengan linangan air mata, sementara Gita hanya memperlihatkan wajah terkejut.

Beberapa menit yang lalu, sebelum aku berhasil menekan tombol pintu lift ini, Sinta menceritakan sesuatu yang membuatku dilanda perasaan kesal. Bagaimana tidak? Tiba-tiba saja, dia memohon aku untuk menemui orang tuanya. Dia berkata bahwa dia dijodohkan dengan seorang pria yang hampir seumuran dengan ayahnya. Karena tidak ingin menerima perjodohan itu, dia secara spontan mengatakan bahwa aku telah melamarnya.

Ide itu muncul dengan alasan klise, yaitu dia merasa aku memiliki perasaan. Pemikiran itu muncul karena segala sikapku yang tidak jarang terkesan sangat baik di matanya. Apa aku salah? Memang sudah seharusnya semua laki-laki bersikap baik pada perempuan, bukan?

Setelah selesai dengan penjelasannya, bersama tangisnya, Sinta begitu saja pergi meninggalkan aku dan Gita.

"Kamu enggak ngerasa bersalah?" tanyaku pada Gita yang masih diam di tempatnya. Gadis itu malah menatap iba ke arah Sinta yang sudah berjalan menjauh.

"Maaf. Aku memang nggak seharusnya ikut campur urusan kalian. Lagi pula aku ada urusan penting." Seakan menghindariku, Gita telah berancang-ancang masuk ke dalam lift. Namun, akan kupastikan dia tidak bisa kabur begitu saja. Aku segera meraih sebelah tangannya.

"Eits, tunggu. Kamu masih berutang sama aku," ucapku sambil memperlihatkan celana hitam ini yang ternodai oleh bagian runcing dari sepatu Gita itu.

"Bang Dean, itu digosok pake tangan bakal ilang, kok. Nggak punya tangan?"

Untuk pertama kalinya, aku mendengar Gita memanggilku dengan sapaan 'Bang Dean'. Seharusnya sapaan itu tidak memunculkan perasaan aneh ini. Tapi, itu mungkin saja karena sebelumnya tidak ada orang lain selain keluarga dekatku yang memanggilku seperti itu.

"Udah, ya. Aku ada urusan nih," ucap Gita yang terdengar sedang memelas.

"Mau ke mana kamu?"

"Mau ke ruangan Radit," jawabnya.

"Aku juga mau ke sana." Tanpa menunggu tanggapannya, aku segera menarik Gita masuk ke dalam lift. "Bersihin," ucapku dingin.

"Nggak mau. Bersihin aja sendiri."

"Gita. Ini salah kamu."

"Enggak. Kan itu bagian naluri aku sebagai wanita," sangkalnya diikuti gerakan menarik tangannya dari tanganku.

"Kamu emang nggak pernah berubah ya. Keras kepala."

Dia memilih untuk tidak menanggapi ucapanku dan sibuk membuang pandangannya. Gita masih saja kekanak-kanakan. Di sini, lagi-lagi aku harus kembali mengalah.

Akhir Pertama [Segera Terbit Open PO]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant