[III] 19. Expelled

589 69 36
                                    

🎧Zayn&Taylor - I don't wanna live forever.

.

Tepat tengah malam, pesta perayaan ulang tahun pernikahan Justin-Abigail usai. Suasana Istana menjadi lebih tenang dari beberapa jam lalu. Kini, hanya ada belasan pesuruh yang sibuk membereskan sisa-sisa euforia pesta seperti rerumputan sampah atau prabot makanan yang kotor. Abigail mendesah lega lantas menyandarkan tubuhnya pada salah satu pilar istana. Menatapi para pesuruh serta nanny yang menyebar acak di seantreo aula. Gadis itu baru saja hendak memanggil Elise ketika mendadak suara petir menggelegar keras memenuhi gendang telinga, disusul gemuruh petir-petir kecil lain. Detik selanjutnya, Abigail mendengar suara rintik hujan yang lambat laun menjadi tumpahan air dari langit yang deras. Gadis itu menoleh dan mendapati para pesuruh kelimpungan menggotong benda-benda yang tadinya sedang dipajang di luar istana kini berusaha mereka masukkan agar tidak basah.

"Aku kurang suka dengan hujan mendadak seperti ini. Lagipula, bukankah seharusnya sudah masuk musim panas?" Abigail nyaris saja terjerembab kaget saat sebuah suara membuatnya reflek menoleh dengan bahu yang naik sedetik. Gadis itu menampilkan senyum kikuk yang aneh, lantas mengangguk kecil. Menghindari tatapan mata coklat dari lawan bicara yang entah bagaimana membuat Abigail risih.

"Aku selalu suka hujan." Abigail menyatakan kontra. Dan berharap pria itu pergi.

"Bagaimana jika hujan itu membasahi tubuhmu? Membuatmu kedinginan?" Abigail menatap mata coklat milik Taylor dengan lekat. Yang ditatap menarik seutas senyum sehangat matahari pagi.

Kemudian gadis itu terkekeh sembari menggeleng. "Tidak mungkin, kan? Justin tidak akan membiarkanku kehujanan."

"Benarkah?"

Abigail mulai tidak nyaman dengan pertanyaan Taylor yang menjurus pada hal kurang sopan.

Belum sempat Abigail menjawab, Elise datang dengan langkah besar. Nafasnya menderu dan wajahnya menampakkan kekhawatiran. Gadis itu memandang Abigail penuh simpati. "Lady Calester, Taylor Lautner, Lord Justin ingin bicara pada kalian sekarang juga." Elise membungkuk sedikit pada gadis dengan balutan gaun putih susu di hadapannya.

Taylor tersenyum miring tanpa ada seorangpun yang menyadari hal itu. Sementara Abigail kini berdecak panik.

"Apa yang terjadi? Mengapa dia belum tidur? Dia sedang sakit." Gadis itu nampak cemas, ia menyisir pelan helaian rambutnya menggunakan jemari ke belakang kepala, membuat wajah cantiknya terekspos lebih nyata.

Elise menggeleng dengan nafas yang mulai teratur. Gadis yang kerap dekat dengan putra tunggal Kerajaan Mighael itu membenamkan bibirnya kuat-kuat sebelum kembali berkata. "Dia terlihat marah."

***

Lain dengan Taylor yang sudah tahu segalanya, Abigail sama sekali tidak tahu apa yang sedang terjadi saat ini. Sekarang, gadis itu berdiri--berdampingan bersama Taylor beberapa meter dari tepi ranjang dimana Justin sedang duduk disana. Menunduk, mencengkram erat amplop coklat yang terlihat lecak. Kepala Abigail dipenuhi oleh ribuan pertanyaan, mengapa Justin terlihat semarah ini? Bahkan ketika tak sengaja mata mereka saling bertemu, Abigail sama sekali tidak menemukan kehangatan di dalam iris coklat itu. Padahal, mereka baru saja melakukan hal romantis dan menyenangkan kurang dari tiga jam lalu, bukan? Abigail bahkan kehabisan alasan sebagai jawaban dari segala pertanyaan yang berputar di kepalanya. Satu hal yang gadis itu tahu, Justin marah karena sesuatu yang berada di dalam amplop coklat tersebut.

Tujuh menit. Hanya keheningan yang menyelimuti seisi ruangan ini. Sampai akhirnya Abigail memberanikan diri untuk berbicara.

"Just-"

"Don't say my name."

Suaranya dingin. Seperti sungai yang beku di musim salju. Tenggorokan Abigail tercekat saat menyadari Justin kini menggigit bibir bawahnya sendiri kuat-kuat, tak peduli jika bibirnya akan terluka dan Abigail tak kuasa untuk mencegahnya. Sikap Justin yang mendadak berubah membuat Abigail takut, takut jika ia ternyata telah melakukan kesalahan besar dimana ia sendiri tidak menyadari kesalahan itu. Abigail menunduk, kembali berfikir, hal separah apa yang membuat seorang Justin terlihat begitu murka padanya? Seolah-olah Abigail adalah penjahat, penjahat yang merenggut kebahagiaan dari Justin. Tapi Abigail bukan, Abigail tidak merasa melakukan suatu kesalahan apapun.

Wrong EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang