[III] 14. Fiore

453 65 21
                                    

Kemana lagi tempat yang harus Justin tuju selain sebuah Istana tempat kelahirannya yang berada di ujung Thandeus bagian Utara yakni Evander Castle. Satu-satunya alasan mengapa Justin mengharuskan kehadirannya di Istana itu tak lain karena ia ingin segera menemui sang adik perempuan, Eleanor Marchella Evander. Oh, apakah Justin harus menyebutnya menjadi Eleanor Marchella Frankestein? Oke, jujur itu tidak cocok sama sekali. Tapi bukan itu yang harus diperdebatkan sekarang. Poin utamanya adalah, Justin hanya bisa menggantungkan harapannya untuk bertemu kembali dengan sang istri cuma pada gadis berambut coklat kemerahan itu, Eleanor. Hanya Eleanor yang bisa menggunakan kekuatan teleportasinya dengan membayangkan sosok manusia, bukan tempat. Jadi, dimanapun manusia yang Eleanor kehendaki untuk dia temui, maka kekuatan teleportasinya akan mengantar Eleanor kesana. Meski ke ujung dunia sekalipun.

Justin terus mengerjap dan menggeleng untuk menghalau bayang-bayang senyuman Natalie dan rambatan kesedihan pada wajah Abigail yang terus berputar dalam memorinya. Dada Justin terasa sakit, seperti ada jarum kecil yang menyumbat peredaran darahnya, dan... seperti ada sesuatu bagian dari dirinya yang hilang. Pria itu menggeleng lagi, kemudian mengedipkan mata berkali-kali. Astaga, bagaimana bisa Natalie begitu menarik perhatiannya? Maksud Justin, bagaimana mungkin Justin bisa berpaling sementara di sisinya ada Abigail yang memiliki paras serupa Dewi Athena dengan limpahan cinta dan kasih sayang yang begitu besar. Justin benar-benar tidak mengerti.

Mengingat luka bekas gigitan ular pada sebelah lengan Abigail rasanya semakin menyiksa batin Justin saja. Memang, luka itu tidak berbahaya lagi karena Abigail sudah menyembuhkan dirinya sendiri dengan kekuatan sihir. Tapi membayangkan bagaimana Abigail meringis kesakitan di belakang ketika Justin dan Natalie sibuk bercakap-cakap, rasa-rasanya Justin ingin cepat mati saja. Dan lagi, segala tindakan seperti memberikan ruangan mewah untuk sepasang kakak beradik serta mengantarkan sarapan nikmat untuk mereka benar-benar di luar fikiran Justin. Semua seperti terjadi dan berlalu begitu saja, seolah tubuh Justin dikendalikan oleh penyihir hitam hingga ia rela-relanya mengantar sarapan hanya untuk sepasang anak prajurit yang terlantar. Sulit dipercaya, tapi itu kenyataannya.

Begitu dihadapkan oleh sebuah pintu yang Justin kenali sebagai pembatas dimana di dalam sana terdapat ruangan megah dengan gelar kamar Eleanor dan Hemmings, Justin menyopankan diri untuk mengetuk pintu tersebut menggunakan tempurung telunjuknya beberapa kali. Tidak kunjung mendapat jawaban, Justin buka suara, "Eleanor. Ini Justin." pria itu mengontrol suaranya setenang mungkin. Masih tidak ada jawaban, Justin menggeram sebal kemudian membuang nafasnya asal. Pria itu baru saja hendak membuka pintu tersebut ketika pintu itu justru tertarik lebih dulu dari dalam, menampilkan sosok Eleanor dalam balutan gaunnya yang indah dengan senyum kecut di bibirnya. Justin memutar mata, lantas melenggang lebih dulu ke dalam saat Eleanor memiringkan tubuhnya untuk mempersilahkan Justin masuk. Tidak perlu bertanya lagi bagi Justin untuk mengetahui bahwa Hemmings sedang tidak berada disini. Itu sebabnya kamar ini kosong, dan tertata rapi lengkap dengan aroma bunga-bungaan yang semerbak di segala penjuru.

Justin merasa lelah dengan semua ini. Satu tempat yang pertama ia hampiri yakni ranjang Eleanor yang besar dan empuk. Pria itu menghempaskan bokongnya pada tepi ranjang, kemudian menyapu wajahnya asal lantas membiarkan sela-sela jarinya mengacak helaian rambut coklat cerahnya. Justin mengerang, seperti orang kesetanan saat Eleanor kembali menutup pintu kemudian berjalan menghampiri kakak laki-lakinya itu.

"Kenapa lama sekali buka pintunya?" Justin menatap Eleanor tajam. Meski begitu, Eleanor tahu Justin tidak marah sungguhan. Justin hanya sedang kesal, itu saja.

"Aku habis bicara dengan orang."

Kening Justin terlipat. Pria itu mengeledah seantreo kamar menggunakan mata elangnya. "Tidak ada orang disini. Kau habis mengobrol dengan ninja yang bisa keluar dengan melompat dari jendela?" Tanyanya dingin, dengan bibir yang mencebik ke bawah.

Wrong EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang