Bab II Bagian xix

474 67 11
                                    

Dingin.

Gadis itu mengeratkan selimut tebal yang ia kenakan hingga menutupi seluruh tubuh, mencoba menghalau rasa dingin yang seakan menusuk tulangnya. Gadis itu menggelemetukkan gigi, sekujur tubuhnya gemetar sementara buku-buku jarinya mulai membiru. Rambutnya yang coklat muda menutupi separuh wajah, gadis itu menghembuskan nafas pelan-pelan, mencari kehangatan disana. Namun nihil, uap putih yang keluar dari bibirnya ternyata juga dingin, membuat gadis itu semakin gemetar hebat. Vivian namanya. Ratu Pars. Ratu muda yang baru berusia 24, ia jarang sekali menampakkan dirinya di kalangan masyarakat. Ratu itu lebih suka mengatur negrinya dari dalam Istana, hingga banyak orang berfikir bahwa Vivian adalah wanita tua yang bahkan sudah kesulitan dalam berjalan. Namun begitu, beliau adalah sosok yang bertanggung jawab. Dia sangat mencintai tanahnya.

Hari ini cerah, matahari bersinar dengan percaya diri di atas sana. Namun, entahlah. Udara pagi ini benar-benar mampu membuat air yang tenang menjadi membeku dalam hitungan detik. Sepertinya semua ini disebabkan oleh cuaca ekstrim yang terjadi beberapa hari belakangan, ketika Erestein dan Abigail memainkan cuaca sesuka hati mereka--hanya untuk menyerap kekuatan besar masing-masing elemen seperti air hujan, angin badai ataupun petir yang menggelegar. Vivian bisa saja marah, gadis itu bahkan sanggup mengubah Erestein menjadi batu sejak kemarin-kemarin, namun, ia tidak melakukannya. Vivian ingin Erestein tewas di bawah tangan puteranya sendiri setelah kakek itu mengotori tanahnya dengan membuat kastil tua itu sejak puluhan tahun lalu. Dan ketika Vivian mendapat kabar bahwa Erestein telah tewas, gadis itu benar-benar lega. Ia menghabiskan sehari semalam penuh untuk bermalas-malasan di atas ranjang, hingga pagi ini dingin menampar kulitnya. Membuat gadis berparas cantik itu harus bangun dengan terpaksa.

Vivian merasakan luar biasa dingin pada saat detik pertama telapak kakinya menyentuh permukaan lantai pualam di bawah ranjang. Sekujur tubuh gadis itu kian gemetar hebat, meski selimut tebal masih meliliti tubuhnya rapat-rapat. Kaki Vivian bergerak mencari dimana alas kakinya dengan susah payah, dan ketika ia berhasil mengenakan sepasang alas kaki dari bulu-bulu yang hangat itu, ia mendesah penuh syukur, bersamaan dengan suara ketukan pada pintu kamarnya. Vivian memutar mata.

"Queen Vivian?" Biasanya Vivian masih meringkuk di atas ranjang setiap kali Bishamon--kepala nanny Kerajaan Pars--mengetuk pintu kamarnya. Namun hari ini, Vivian sudah duduk pada tepi ranjang, waw. Dia merasa tersanjung dengan diri sendiri.

"Ya, masuk, Bisha."

Vivian yakin sekali Bishamon tersentak di luar sana. Namun begitu, tidak perlu menunggu waktu lama bagi Vivian untuk melihat pintu kamarnya terdorong terbuka. Menampilkan Bishamon yang manis dalam balutan seragam nanny nya. Vivian tersenyum, lalu berdiri masih dengan selimut yang menutupi seluruh permukaan tubuhnya.

"Hari ini dingin sekali. Saya telah menyeduhkan teh mint kesukaan anda, Yang Mulia." Bishamon membungkuk pendek, menghormati Ratunya yang masih tersenyum sejak tadi.

"Terimakasih, ada lagi?"

"Ada, Yang Mulia Ratu." Bishamon tidak menatap Ratunya. Sedari tadi nanny itu berujar sembari menunduk, menjaga pandangan karna itu merupakan salah satu dari aturan-aturan bagi nanny disini.

"Apa?"

"Pangeran Justin Evander dari Utara mengundang Anda untuk menghadiri makan malam bersama, malam ini."

Sebelah alis Vivian terangkat. "Waw." Ia tersenyum. "Aku benar-benar-benar tersanjung. Dia masih mengingatku?"

"Hamba rasa begitu,"

"Ya, tentu saja. Dia mungkin masih merasa bersalah atas dosa besar yang pernah ia lakukan."

Bishamon tidak tau harus menjawab apa.

Wrong EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang