10. Cry

795 98 8
                                    

"Bawa aku dan jangan sakiti mereka,"

Selama beberapa detik, lima bandit ini hanya saling tukar pandang. Menimbang-nimbang lewat sorot mata mereka yang mudah di artikan. Sampai si ketua menyentakkan kepala nya setuju, barulah dua pria berbobot lebih dari seratus kilogram itu menyeret Abigail dengan menarik kedua lengan gadis itu secara paksa. Kali ini Abigail tidak melawan, gadis itu justru tersenyum penuh kehangatan pada dua kurcaci di dekat pohon yang kini sedang bersidekap seraya menangis tersedu-sedu.

"Jangan tinggalkan aku," Dudu terisak. Membuat hati Abigail semakin tersayat hingga menimbulkan rasa sesak dan berat hati yang mengoyong sekujur tubuh nya. Air mata putri bangsawan itu kembali terjatuh, membasahi permukaan pipi nya yang seputih salju hingga mata nya yang menyimpan zamrud hijau itu berubah kemerah-merahan.

Lagi, Abigail tersenyum pada dua makhluk aneh itu yang sudah ia anggap anak sendiri. Gadis berambut coklat pekat itu tidak peduli bagaimana kebas yang menjalar di sekitar lengan hingga bahu nya, tidak peduli luka lecet yang sudah dipastikan ada banyak di tangan nya tapi ia terus tersenyum seolah senyuman nya itu bisa mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja. "Aku berjanji, akan kembali." Abigail meringis dalam lirihan nya yang pedih. Untuk kali pertama nya, gadis itu mengucapkan sebuah janji yang sudah ia yakini tidak akan bisa ia tepati. Peduli apa? Yang jelas Abigail ingin dua ballbo itu tetap tenang dan tidak merasa kehilangan atas kepergian nya. Benar saja, Dudu dan Tutu mulai menyunggingkan senyum meski cairan bening masih keluar dari kelopak mata nya. Mereka terlalu polos, terlalu mudah dilabui oleh janji Abigail yang sudah jelas-jelas palsu. Namun Abigail merasa lega dalam kesakitan nya. Setidaknya, ia bisa melihat senyum ballbo miliknya untuk kali terakhir

"Jangan banyak omong!" bandit yang lain melayangkan tamparan nya pada pipi Abigail yang sudah basah akan air mata. Gadis itu tidak merintih kesakitan, Abigail meludahi darah dari dalam mulutnya menuju sepatu boot tua kumal yang dipakai orang itu. Sontak saja ia menggeram kesal, pria itu menarik rambut Abigail kuat-kuat hingga memaksakan kepala Abigail untuk mendongak. Mendongak secara tak lazim karna itu adalah sebuah tarikan paksa yang membuat kepalanya terasa sakit dan pusing

"Kau!" ingin bandit besar itu melayangkan tinju nya pada wajah Abigail yang mulus kalau saja teman nya tidak berseru lagi. "Jangan! Kita bawa dulu dia ke tempat yang sepi. Aku khawatir si Justin-Justin itu sungguhan datang."

Setelah menimbang dua detik, pria itu mengangguk. Lantas mengisyaratkan pada dua bandit yang memegangi Abigail untuk lekas membawa gadis itu jauh-jauh dari kawasan sini. Abigail hanya dapat menurut, menahan rasa perih pada sudut bibirnya yang sobek, terus mengucurkan darah tapi gadis itu tidak mengeluh sedikitpun. Ia berfikir kalau bibirnya sobek seperti sekarang, justru lima bandit jelek sialan ini tidak akan sudi bermain-main dengan bibirnya yang sensual. Dari tadi Abigail selalu memikirkan sisi positif nya saja, berusaha menyingkirkan perasaan takut ataupun menyesal. Gadis itu dilatih menjadi putri raja yang kuat, Abigail rela mati tidak terhormat dibawah tangan bandit ini asalkan ia tetap berjuang sampai ajal nya benar-benar menjemput





*





"Gila, ini terlalu jauh! Kita pergi 10 meter dari tempat tadi juga Abigail tidak akan dengar!" Justin mendecak sebal di atas ranjang nya yang besar. Astaga, Eleanor sampai membawa Justin teleportasi menuju istana Evander demi menghindari pendengaran Abigail. Gadis itu terlalu takut jika Abigail mengetahui perbincangan mereka, entah apa alasan nya ia tidak ingin menggunakan kemampuan telepati

Eleanor menghela nafas nya jengah, gadis itu duduk pada tepi ranjang di sisi Justin yang tengah bertelentang ria. Rasanya Justin begitu merindukan ranjang empuk kesayangan nya yang sudah menjadi mikiknya selama 24 tahun itu. "Jadi, menurutmu siapa dia?"

Wrong EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang