Bab II Bagian xx

509 71 13
                                    

.

.

Angin malam berhembus pelan. Tenang, membuat dedaunan pohon saling bergesekan menghasilkan suara yang menyejukkan telinga. Sang purnama masih menggantung indah jauh di atas sana, dikelilingi milyaran bintang yang menemaninya. Suara raungan serigala dari dalam hutan terdengar menggema, menyebar di seluruh penjuru lahan luas yang ditumbuhi rumput-rumput dan ilalang tinggi ini. Pria itu memeluk lututnya, meletakkan dagu pada sela-sela himpitan kedua lutut yang tengah ia tekuk. Pria dengan mata hijau kebiruan itu membiarkan hembusan angin yang dingin menampar permukaan kulitnya. Membuat rambut coklat gelapnya yang tebal bergoyang, menari kesana-kemari. Ia menggelemetukan gigi. Menahan dingin yang semakin menjadi-jadi.

"Apa kau disana?"

Sebuah suara yang lembut membuat kedua bahu pria dengan rambut coklat gelap itu tersentak. Pria itu menolehkan kepalanya ke samping, menyorot sosok wanita yang tengah berjalan dengan anggun padanya menggunakan kedua matanya yang terlihat bersinar di bawah hamparan cahaya rembulan. Pria itu bergeser, memberikan sedikit ruang untuk wanita tersebut agar duduk di sebelahnya. Wanita itu menyapu permukaan belakang gaun mewahnya kemudian duduk dengan posisi yang serupa dengan pria tersebut. Wanita tersebut mendesah sembari mengangkat kepalanya, memandang ribuan bintang yang memenuhi sorot pandangnya.

"Malam ini dingin. Kembalilah ke Istana, Vivian."

Vivian mengerutkan dahi. Wanita itu mengerucutkan bibirnya sembari menghentakkan kaki. Entahlah, ia selalu bersikap manja jika sedang berada di sisi pria ini. Dan ia merasa nyaman, sangat nyaman. Lebih nyaman dari ranjangnya yang besar dan empuk. Hanya menghirup aroma musk milik pria ini, Vivian merasa tenang.

"Setelah aku menyelamatkan nyawamu, kau masih saja tidak suka berada di dekatku."

"Kau berbicara seolah kita sudah kenal lama,"

"14 hari sudah cukup lama untuk seorang gadis, kau tau!" Wanita itu berdecak, kembali memajukan bibirnya seolah ia adalah anak kecil yang tidak jadi dibelikan mainan. Pria itu terkekeh kecil.

"Aku suka berada di dekatmu, to be honest. Aku tidak ingin kau sakit."

Vivian tak bergeming.

"Alasan." Wanita itu memalingkan wajah dengan defensif. Disertai lenguhan yang disengaja.

"Aku serius, Vivian." Pria itu tersenyum lebar sebelum akhirnya menarik kepala wanita di sebelahnya hingga kepala Vivian merapat di dadanya yang bidang. Vivian tertawa kecil ketika pria itu menggelitik lehernya. Ia sebal, namun rasa nyaman membuatnya tak ingin berpindah meski hanya satu senti.

"Aku mencintaimu, Vivian."

"Aku juga,"

"Jadi... apa kau sudah mengetahui siapa aku sebenarnya?"

Pertanyaan itu sontak saja membuat tawa Vivian terhenti. Ia menarik tubuh perlahan, kembali duduk berdampingan seperti saat pertama ia datang. Wanita itu menyelipkan helaian rambut pada telinganya sembari menunduk. "Belum,"

Pria itu menghela nafas.

"Tapi aku akan segera mencari tau. Aku penyihir terkuat di Pars. Kau kenal Justin Evander? Aku lebih kuat darinya." Wanita itu melempar senyum sombong. Pria yang berada di sisinya berdecak meremehkan.

"Aku tidak mengingat apa-apa sejak kau menolongku. Bagaimana aku bisa kenal Justin Justin itu?"

"Kau benar," Vivian menghela nafas. "Tapi... kau suka bukan dengan nama yang ku berikan?" Vivian bertanya dengan penuh percaya diri.

"Tentu saja, itu nama yang indah."

"Ya, sangat indah. Alex Parsein." (read: Alex persein)

Wrong EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang