[III] 8. Kidnapped

551 67 23
                                    

                    Sang surya belum menampakkan diri. Lingkaran raksasa yang sarat akan panas cahaya itu masih sungkan muncul ke permukaan karena notabenenya jam masih menunjukkan pukul empat pagi. Dan sepertinya mentari tak akan terlihat karena pagi ini akan turun hujan salju ringan yang membuat langit akan terlihat putih keabu-abuan. Justin bangkit setelah terlelap di sebuah batang pohon maha besar yang ia jadikan sandaran selama semalaman demi membuat kedua kelopak matanya tertutup rapat dengan nyaman. Pria bermata coklat madu itu tak henti-hentinya memikirkan Gowther. Yang bisa ia katakan sebagai temannya sebelum vampire terakhir itu malah jatuh hati pada isterinya sendiri. Justin tidak tau harus menyembunyikan Abigail kemana jika Gowther sanggup mengendus aroma Abigail dari radius dua ratus kilometer jauhnya. Itu menyulitkan.

                    Gigi Justin bergelemetuk menahan dingin. Pagi ini sangat dingin, super duper dingin dan makhluk dari kutub pun tentu akan mengakuinya. Justin berdiri, menepuk bagian bawah bajunya--menyingkirkan debu yang tersisa disana sebelum mengayunkan kaki untuk mendekat pada tenda yang dibangun oleh Eleanor semalam untuk tempat tidur para wanita disana. Sebenarnya Justin diizinkan masuk, hanya saja ukuran tenda yang dibawa Eleanor dalam perbekalan bukanlah tenda besar yang bisa dipakai belasan orang. Tenda itu kecil, bahkan Eleanor seringkali merasakan kaki Abigail yang menendang-nendang perutnya seolah Abigail adalah bayi dalam kandungan.

                    Maka dari itu, ketika Justin membuka sedikit bagian jendela tenda, ia tidak mendapati adiknya disana. Pria itu memutar tubuh, menyapu pandang ke seantreo lapak hutan yang dijadikan tempat bermalam. Kemudian Justin menemukan sosok Eleanor yang sedang berjongkok di tepi sungai yang sedikit beku. Entah apa yang wanita itu lakukan, mungkin bercermin atau apalah. Tapi Justin tidak menghampirinya. Ia justru masuk ke dalam tenda dan membangunkan dua wanita yang sedang terlelap di sana.

                    Tubuh Abigail menggeliat sebelum wanita itu bangkit dengan mata masih terpejam. Sementara Priskila justru mengeratkan selimut yang ia pakai dan berpaling--berharap Justin tak lagi mengganggunya. Justin menghela nafas, lantas menatap pada Abigail menunggu isterinya segera membuka mata. Sangat lama. Wanita itu sudah menguap beberapa kali, dan menggaruk puncak kepalanya namun tetap saja denga mata tertutup. Membuat Justin jengah dan tak kuasa untuk menunggu hingga pria itu memutuskan untuk menepuk-nepuk pipi isterinya dengan pelan saking gemasnya. Abigail terkesiap dengan mata yang terbuka lebar, namun yang keluar dari sela bibir wanita itu adalah makian kasar yang sukes membuat Justin mendelik tajam. Mendapati pelototan, Abigail bungkam.

                    "Kita harus pergi."

                    Abigail tidak memberikan respon berarti. Wanita itu menguap, kemudian mengeratkan mantelnya rapat-rapat. Meraih karet gelang pada pergelangan tangannya kemudian mengikat rambut coklat gelapnya menjadi bentuk satu kunciran kuda asal yang menyisakan rambut-rambut kecil pembingkai wajah. Dahinya terekspos, wajahnya yang putih mulus bersih dapat terlihat dengan jelas. Wanita itu menguap lagi dengan mata sayu. Lalu kembali diam.

                    "I said we must go, now."

                    "Kenapa?" Wanita itu bertanya tak bersemangat. Membuat Justin tak henti-hentinya menghela nafas untuk menahan emosi yang bergejolak.

                    "Pasal 24 ayat 18 Peraturan Kerajaan Evander. Tidak perlu bertanya ketika mendapat perintah dari Raja." Justin bicara dengan sedikit penekanan. Dan yang ia dapati justru satu alis Abigail yang terangkat tinggi-tinggi.

                    "Aku Calester," ia menjawab enteng. Lantas menguap lagi. Justin mengerang, berdecak sembari mengacak rambutnya asal-asalan. Wajah pria itu mengeras, kemudian dengan cepat ia menangkup kedua pipi Abigail dengan satu tangan. Membuat kedua mata yang indah itu akhirnya beradu, bersipandang, melebur satu sama lain.

Wrong EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang