BAB 1 (Marriage Life: This is Us)

Mulai dari awal
                                    

"Mas,"

"Hhm—,"

"Bangun... sudah siang,"

"Hmm—,"

"Kata orang pamali tidur lagi habis subuh,"

"Hmmmmm,"

Dan dia semakin mempererat pelukannya. Ditambah menggelendot di punggungku seperti ulet bulu.

Aku jadi geli sendiri. "Mas, jangan manja dong! Ayo bangun!"

"Tidak mau,"

"Ih, pemalas!"

"Main dulu baru bangun,"

"Main? Kan, aku lagi mens, Mas!"

Menyebalkan! Inilah salah satu kesimpulan yang bisa aku dapatkan setelah tiga tahun menikah bahwa semua lelaki di dunia ini sama saja. Kalau soal 'begituan' aja langsung semangat.

Anyway, 'main' adalah istilah kami untuk... ya... you know lah!

"Kalau gitu aku mau begini saja," katanya lalu memelukku semakin erat.

Aku meronta, berusaha melepaskan pelukannya. "MAS! Kalau kamu nggak mau bangun, aku yang mau bangun!"

Mau nggak mau, aku membalikkan badan ke arahnya agar pelukannya bisa terlepas. Tapi tiba-tiba, aku merasa tersihir dalam sekejap oleh pemandangan di hadapanku ini. Mas Adit—dengan rambut ikalnya yang acak-acakan, alis tebal bak barisan semut membentuk lengkungan, mata sendunya yang terpejam dengan bulu mata panjang nan lentik, hidung mancungnya, bibir pink alaminya yang tidak pernah dipoles lipgloss sekalipun, rahang bawahnya dengan struktur yang begitu tegas dan manly. Duh!

Hari gini masih aja deg-degan ngelihat suami sendiri.

Permasalahannya adalah selama tiga tahun ini kami terbilang jarang bertemu. Jadi, ketika bisa melihatnya dari jarak sedekat ini, rasa campur aduk dalam hati ini masih sama seperti yang aku rasakan di malam pertama. Aneh ya?

"Kamu... beneran nggak mau bangun?"

"Hmmm,"

"Kenapa sih kamu—,"

"Aku dari kemarin insomnia, Sayang. Ngurus rumah sakit, pasien, belajar, tugas numpuk, capek, ngantuk, butuh tidur,"

"Tapi, masa setiap kamu pulang ke Jogja selalu tidur doang? Kapan kita pacarannya? Sekali-kali keluar rumah dong! Keliling Jogja gitu,"

"Nanti malam aku kan flight jam 9. Kita di rumah aja yuk! Anget-angetan,"

Aku menghela napas panjang. Manusia ini memang kehidupannya sangat monoton. Bisa dikatakan, hampir 80% hidupnya untuk bekerja dan belajar. Sisanya untuk membahagiakan dirinya sendiri yaitu dengan tidur.

Aku menegakkan tubuh sebelum mengeluarkan segala unek-unekku. "Kapan sih kita kelar LDR Jogja-Jakarta gini?"

Sayangnya, jawaban darinya justru membuatku semakin kesal. "Sabar,"

Sabar katanya? Tiga tahun loh ini. Tiga tahun dia atau aku harus bolak balik Jakarta-Jogja, itu juga kalau ada waktu, kenyataannya sih jarang sekali. Tiga tahun kami lebih sering berkomunikasi lewat aplikasi messenger daripada bicara langsung. Tiga tahun mimpiku hidup bersamanya, menghabiskan akhir pekan dengan duduk santai di jetty belakang rumah sembari melihat anak-anak kami berlarian bermain ombak dan pasir pantai, harus hancur perlahan-lahan melawan kenyataan yang sesungguhnya, bahwa hidup tidak seindah negeri dongeng.

Internal Love 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang