Seventeen

5 1 0
                                    

"We have two objection for this party." Ujar Gilbert. "To celebrate Henrietta's engagement and ..."

"To introduce me as the family heir." Potong Lainne. "Yeah, I know. You've repeated it so many times that it rings in my head."

"That's my point. So don't you dare messing with anything that happens today." Sahut Gilbert. "The maids will prepare everything for you."

Lainne ditinggal sendirian di kamarnya. Ia sudah berpindah dari ruangan sempit di loteng itu ke sebuah kamar yang lebih layak. Tak lama kemudian, para pelayan datang membawa tiga gaun panjang.

"Silakan pilih satu dari gaun-gaun ini." Ujar kepala pelayan.

Yang jelas bukan yang merah. Gaun mekar seperti itu, memangnya ini Hamlet? Lainne melihat sekilas yang biru. Yang ini sederhana tapi terlalu terbuka.

Pandangannya beralih ke gaun putih. Lainne tersenyum, "The white one."

Para pelayan itu mengangguk dan langsung mempersiapkan semuanya. Mulai dari memandikan Lainne (walau ia bersikeras hendak mandi sendiri, tapi para pelayan tidak kalah keras akan memandikan Lainne), mendandaninya, wajah dan rambut, lalu memakaikan gaun itu padanya.

Lainne mengernyit melihat dirinya di cermin. "It really doesn't suit me."

"No way, you look really pretty in those." Sahut suara seorang wanita dari pintu. "I'm surprised."

"You don't look like you do, Henrietta." Balas Lainne.

"Yeah, I don't. I'm happy that you understand me so well." Ucap Henrietta sambil berjalan mendekati sepupunya itu. "Grandfather's asking for you."

Lainne terkejut. "He is? You're not playing with me, aren't you?"

"It's up to you to believe me or not. Take your own risk to be tricked or not to come." Balas Henrietta nyengir. "Well, I'm outta here."

Wajah Lainne langsung berubah masam melihat kepergian Henrietta. Topik barusan sama sekali tidak bisa dipermainkan. Kalau ia ternyata tidak dipanggil dan ia datang, alasan apa yang akan dikatakannya pada pria tua itu? Kalau sebaliknya, oh mungkin lebih buruk.

Akhirnya ia memutuskan untuk pergi. Lebih baik begitu daripada dianggap mengacuhkan panggilan.

Lainne menghela napas begitu sampai di depan pintu besar itu. Cepat atau lambat ia memang harus menemui kakek tua itu. Dengan pasti ia mengetuk pintu, "Excuse me!"

"May I know who you are?" Jawab seorang pelayan dari dalam.

"It's Lainne." Sahut Lainne. "May I talk to grandfather please?"

"He is not..."

"Let her in." Sebuah suara berat dan berwibawa memotong ucapan pelayan itu.

"Understood." Tak lama pintu terbuka dan Lainne melangkah masuk. Kamar tidur master memang berbeda. Lorong yang cukup panjang dan remang-remang di awal membuat kesan misterius. Ruang yang luas dengan perabotan mahal di dalamnya memberi tampak mewah dan glamor. Namun jendela yang tertutup serta hanya lampu tidur yang menyala membuat kamar luar biasa itu terasa suram.

Lainne melangkah ke arah tempat tidur di mana seorang pria tua sedang duduk membaca buku. "So what do you need from this old man, young lady?"

Lainne terkejut mendengar cara bicara pria itu. Sama sekali tidak menakutkan seperti yang dikatakan orang-orang. Dan dengan ini sudah jelas ia dikerjai oleh sepupunya itu. "It's nice to finally meet you, grand father. I come to ask you a favor."

"And that is?"

"I want to delay the announcement of me becoming the heir of the family. Please let me finish my education for a year in Japan. After that, I'll come back here and do anything for the family." Ujar Lainne. Ia tak bisa menyembunyikan rasa takutnya dari suara.

"By anything, what do you have in mind? Surely you have plan for that." Sahut pria tua itu. Kali ini ia sudah menutup bukunya dan menatap lurus ke arah Lainne yang membuat Lainne makin gugup. Tetapi pandangan itu mengingatkannya pada seseorang. Sosok yang sangat dicintainya dulu.

"I am going to take two major in Sorbonne University. Medical and Chemistry. With the knowledge I will get there, I will cure Henrietta's and your disease." Jawab Lainne.

"Ho, a doctor! A private doctor for our family. And if you succeeded, you don't have to be the heir since Henrietta can do it, that's what you mean?" Pria itu tersenyum.

"Exactly. I know myself too well. I'm not fitted to be a leader in front. Backstage is more suited for me." Jawab Lainne.

Pria itu mengangguk. "And if you fail?"

"I will take full responsibility for it and be the successor."

Keheningan menyelimuti mereka. Dua pasang mata yang saling bertatapan itu sama-sama tegas dan keras. Sampai akhirnya pria itu bertanya, "I know if I say no, you will still go back to Japan. Still, why do you ask for my permission?"

"I just don't want to repeat the mistake my mother did. Unlike my mother, I don't like running away. Hiding from you all for years has been tough and I think it's enough. At the very least, now you know my plan."

"That stubbornness you got from your mother was from me. We're so alike that I've already known what you're thinking. Strange, isn't it?" Ujar pria itu. "So how will you escape? Nobody will say 'Have a safe trip' and open the door for you."

Lainne tersenyum. "He should be arriving any minute now. And if anyone won't open it for me, I'll force it open myself."

Tiba-tiba terdengar suara ribut orang-orang di luar. Lainne berpandang-pandangan dengan kakeknya. "Seems they've come."

Lainne melangkah ke arah balkon dan membuka jendela. "Grandfather, the air outside is good for you. Opem your window sometimes!"

Rambut kemerahan Lainne berkibar menyala diterpa angin dari helikopter yang perlahan turun.

"Lainne."

Lainne menoleh mendapati kakek itu berdiri di samping tempat tidurnya. "Have more confidence. You're more than you think you are. The fact that you're brave enough to talk to me is sure a proof for you to be able to be a great leader one day."

Lainne tersenyum sebelum menghilang di balik kibaran gorden keemasan ruang yang sekarang terang benderang itu.

Thank you, grandfather.

Don't Call Me 'Akage'!Kde žijí příběhy. Začni objevovat