"Jangan nangis, Ka!" Seru seorang laki laki dari luar ambulans, sepertinya ia mengejar kami. "Aku janji kakak kamu nggak bakalan kenapa kenapa! Kaka jangan nangis!"

Pupilku membesar, saat kutemui Brendon dan Ashton yang ternyata mengejar ambulans yang kini kutumpangi. Iya, teriakan tadi dari Brendon, aku tau persis suaranya, tapi Ashton-

"Kakak kamu nggak kenapa kenapa, Ka! Jangan nangis! Kamu udah jelek, makin jelek kalau nangis!" Seru Ashton, kali ini ia mempercepat larinya. Padahal, mungkin ia tau ia nggak akan bisa menyamai kecepatan ambulans yang sedang kutumpangi. "Jangan nangis ya, Ka! Kamu cemen kalau nangis!"

Aku mengangguk pelan, mengiyakan omongan mereka, meskipun nggak benar benar melakukannya.

Cengeng, iya aku tau, kok.

Harusnya aku bantu, bukannya nangis.

Tapi, aku nggak bisa segampang itu bantu kak Luke. Aku nggak bisa bantu kak Luke, segampang kak Luke ngurusin aku waktu aku sakit. Enggak tau kenapa.

Dan aku benci itu. Aku mau bantu kakak juga, tapi kenapa nggak bisa segampang itu?

"Kakak..." Lirihku sembari menggenggam tangan kak Luke, meski dalam hati berteriak, membentak diriku sendiri agar berhenti menangis. "Kakak cepet bangun, ya... Kata Brendon sama Ashton, kakak nggak bakalan kenapa kenapa... Kakak cepet sembuh, ya..."

Kakak nggak menjawab, hanya terdengar bunyi monitor aneh yang berada disampingnya sejak tadi.

"Kakak jangan sakit..." Gelengku, memejamkan mata paksa, aku ogah nangis diliatin suster. "Kaka nggak mau kakak sakit..."

"Aku janji nggak bakal..." Bisikku, yang akhirnya, tetap aja nangis. "Nggak bakal nangis. Tapi, kakak harus bangun..."

"Kakaknya pasti bangun kok." Angguk suster disampingku, yang kayaknya dengar semuanya. Ih, nguping.

"I-Iya..." Jawabku, yang kali ini nggak bisa menahan cegukan yang datang setelah menangis. "N-Nanti... Kalau kakakku bangun... Jangan bilang aku nangis, ya?"

"Iya." Senyum suster tersebut, membuatku malu sendiri. Ya malu lah yaw, nangis sesegukan depan orang lain. Kayak apaan aja.

"Jadi..." Aku menarik nafas dalam, berusaha kembali bicara tanpa cegukan. "Kakakku kenapa?"

"Dari gejala yang ada, sepertinya-"

"Dek, tolong kasih nomor keluarga yang bisa dihubungi, ya." Tukas suster lainnya. Ih motong aja, orang aku lagi mau tau, juga.

"Nomor kakakku, ini." Aku menyerahkan handphoneku, memperlihatkan nomor telfon kak Cal pada suster yang bertanya tadi. Iya, karena handphone ini bekas kak Mali, kontak yang ada didalamnya juga sebagian besar masih milik kak Mali, aku malas hapusnya.

"Sebentar, ya." Ujar suster tersebut, lantas mencatat nomor telfon kak Cal. "Sekarang tenang dulu ya, dek. Kakaknya biar istirahat dulu."

Rese banget sih, ah! Daritadi juga aku diem, kali!

Enggak diem sih, cuma kan aku nangis biasa aja! Kalau nangisku bunyinya kayak orang ngebor jalan nah baru protes! Orang nangisku biasa aja, kok!

"Iya..." Dengusku, yang mau nggak mau, menuruti perkataan suster nguping tersebut.

Ugh, mungkin, kakak pingsan karena udah tau mau hadapan sama nenek lampir kali, ya?

-

"Ka!"

Aku menoleh, mendapati kak Cal yang berlari di koridor rumah sakit, disusul oleh dua orang lain dibelakangnya, entah siapa. Yang jelas, nggak ada kak Mali.

Kakak • lrhWhere stories live. Discover now