L I M A

681 75 7
                                    

05

.


Aku melambaikan tangan untuk menyetop taxi yang lewat di depan sekolah. Saat taxi itu berhenti, aku masuk ke dalam dan ia pun mulai menjalankan mobil menuju rumah bibi Donna yang merupakan rumahku saat ini.

Tiba-tiba aku teringat dengan pesan dari bibi. Bibi menanyai apakah aku sudah pulang atau belum dan aku belum membalasnya tadi karena aku tanpa sengaja menabrak Beni. Cepat-cepat aku membuka ponsel supaya bisa membalas pesan bibi agar bibi tidak khawatir. Ponselku meminta kode dan aku memasukkan kode agar bisa terbuka. Namun, ponselku selalu mengatakan kalau kode yang dimasukkan salah. Aku tidak mungkin lupa dengan kode ponsel sendiri. Aku mengulangi proses itu berulang kali sampai ponselku tidak bisa dimasukkan kode lagi. Aku disuruh menunggu selama tiga puluh detik baru bisa memasukkan kode lagi. Kejadian ini membuat aku mengernyitkan dahi.

Aku berpikir keras tentang apa sekiranya yang menyebabkan ponselku jadi begini. Mungkin aku lupa password, tapi alasan itu terasa tidak mungkin karena aku tidak pernah mengganti password sejak petama kali aku dibelikan ponsel oleh Ayah di ulang tahunku yang ke lima belas. Mungkin aku sudah mengantikan password-nya tanpa segaja atau mungkin saja ... ah, jangan bilang kalau ponsel aku mungkin saja tertukar dengan ponselnya Beni Kurniawan? Itu mungkin saja terjadi karena saat aku dan dia bertabrakan tadi, ponselku dan dia sama-sama terjatuh.

Aku menatap ponsel di tanganku itu dan menelisik bentuk, merk, dan warnanya. Ponsel itu benar-benar mirip—maksudku persis dengan ponsel yang aku punya. Jangan bilang kalau ponsel kami sama sehingga kami salah mengambil ponsel masing-masing saat terjatuh tadi?

Jeda waktu yang diberikan ponselku untuk memasukkan kode sudah berhenti. Aku sudah bisa memasukkan kode kembali dan aku mencoba sekali lagi memasukkan password-nya untuk terakhir lagi. Kalau memang kode yang ku masukkan dinyatakan salah lagi, berarti memang bernar ponselku telah tertukar dengan Beni karena aku tahu bahwa aku belum pikun dan aku mengingat sangat jelas kalau aku tidak pernah mengganti kode. Dan sekali lagi kode yang kumasukkan dinyatakan salah. Aku langsung saja menyuruh supir untuk kembali ke Global High.

"Kenapa? Ada yang ketinggalan, mbak?" Sang supir bertanya.

"Sepertinya begitu," jawabku.

Entah kenapa aku jadi cemas. Aku enggak ingin bertemu lagi dengan Beni. Bukan karena aku takut padanya, bukan. Lebih karena aku malu, karena setiap melihat mukanya aku selalu teringat kejadian dua bulan lalu. Aku juga tidak ingin para fans-nya di Global High merasa kalau aku sedang mendekatinya. Aku tahu beberapa dari mereka pasti membicarakanku, saat aku berbicara dengan Beni tadi. Saat aku menghindar, justru semesta membuat aku harus berurusan dengan Beni kembali.

Sesampainya di Global High, aku langsung turun dari mobil dan menyuruh mas supir untuk menunggu sebentar. Aku masuk ke dalam perkarangan sekolah dengan berlari. Aku takut Beni sudah pulang dan aku harus mengembalikan ponsel ini besok hari. Aku ingin mengembalikan ponselnya dengan segera, lalu aku tidak harus berurusan dengannya lagi. Namun, setelah berputar-putar mengelilingi satu sekolah, batang hidungnya sama sekali tidak terlihat juga.

Aku mendesah lelah. Ku seka keringat yang turun membasahi dahi. Beni sudah pulang. Ia tidak ada di seluruh Global High.

Bego, tadi 'kan jelas-jelas Beni pulang lebih dulu dari pada aku!

Aku duduk di salah satu bangku di koridor untuk mengambil nafas, sekaligus mengistirahatkan kaki. Aku mengambil botol air dari dalam tas karungku. Airnya terasa sangat segar saat melewati kerongkonganku yang kering. Aku minum sambil menghadap lurus ke depan dan lagi-lagi mataku bertemu dengan orang yang sama.

High School DisasterWhere stories live. Discover now