S A T U

1.4K 89 4
                                    


01

.


Aku, Rasi. Rasi Bintang. Anak tunggal dari Ayah dan Ibu. Sebenarnya Ayah ingin anak empat, Ibu menyutujuinya saja karena Ibu memang suka sama anak kecil, katanya bikin rumah ramai. Sebab, Ibu pernah merasakan kesepian di rumah. Maklum saja, Ibu hanya dua bersaudara. Namun, setelah melahirkanku, dokter mengatakan bahwa Ibu mengidap mioma, sehingga harus di histerektomi. Oleh sebab itu, sampai kapan pun aku akan menjadi anak tunggal.

Kata Ayah, Ibu suka sekali dengan bintang. Ibu itu sarjana astronomi, masalah perbintangan ibu hafal sekali. Kata Ayah juga, Ibu pertama kali bilang sedang mengandungku ketika langit malam lagi indah-indahnya, dimana kilauan bintang bertaburan begitu banyak. Itu mengapa Ayah mengusulkan untuk menamaiku Rasi Bintang. Saat itu, kata Ayah lagi, Ibu senang sekali. Ayah menyebutkan, kata Ibu, itu nama yang bagus.

Ayah seorang polisi biasa, sedangkan Ibu seorang ibu rumah tangga. Walaupun Ibu mempunyai ijazah sarjana, Ibu tetap memilih menjadi ibu rumah tangga. Kata Ibu, ia ingin menghabiskan setiap waktu dengan terus mengikuti perkembanganku. Jika Ibu bekerja, pasti aku akan diurus oleh seorang baby sister dan Ibu tidak menginginkan hal itu. Ia takut bahwa nanti aku bisa menjadi lebih dekat dengan baby sister daripada dirinya. Ayah menyutujui hal itu. Lagipula di rumah hanya ada tiga penghuni, aku, Ibu, dan Ayah. Gaji Ayah sebulan masih lebih dari cukup membiayai kehidupan kami bertiga.

Melihat langit malam, aku jadi kangen mereka. Sayang langit malam di sini tidak seperti di rumah. Ibu pernah bilang, "Meskipun kita tinggal di kota kecil, sangat jauh dari ibukota, jauh dari kehidupan metropolitan, kita harus banyak-banyak bersyukur karena meskipun fasilitas di kota kita jauh dari kata mencukupi, kita masih bisa menatap langit penuh bintang setiap hari. Kamu tahu enggak? Jika kita tinggal di kota besar, bintang sangat jarang muncul."

Ternyata benar kata Ibu. Langit malam di sini jarang sekali ada bintang.

Aku membuka jendela kamar. Angin malam langsung menerpa tubuhku dan membuat aku harus mengusap bahu yang terbuka. Malam ini aku mengenakan baju bermodel sabrina.

Sudah dua bulan aku tinggal di sini, di kota sebesar Jakarta. Kota yang selalu ramai yang malah menurutku sangat sumpek. Keramaiannya, kepadatannya, dan macetnya. Tiga kata itu yang selalu kuingat akan kota ini. Kota yang jauh dari tempat tinggalku dulu bersama Ayah dan Ibu. Kota yang tidak pernah ada dalam impianku untuk tinggal. Betapa aku kangen kampung halamanku.

Aku menghela nafas sebentar. Sudah dua bulan aku tinggal di sini. Berarti sudah dua bulan juga semenjak Ayah dan Ibu pergi ke dunia lain, yaitu alam baka, meninggalkanku seorang diri di dunia ini. Untung saja aku masih memiliki sanak saudara, bibi Donna namanya. Ia adik ibuku, yang berarti adik ipar Ayah. Ayah merupakan anak tunggal, sedangkan nenek dan kakek—kedua orang tua Ayah—juga merupakan anak tunggal dalam keluarganya. Oleh sebab itu, hanya bibi Donna satu-satunya keluarga yang kumiliki. Sekarang, ia menjadi satu-satunya waliku.

Awalnya aku tidak ingin meninggalkan rumah penuh kenangan Ibu dan Ayah, tapi Bibi Donna mejelaskan bahwa ini salah satu permintaan Ayah. Aku baru saja tahu, bahwa kalau pun Ibu dan Ayah tidak meninggal, aku tetap akan tinggal di Jakarta untuk melanjutkan sekolah di salah satu sekolah terbaik di Indonesia. Rupanya, Ayah sudah mempersiapkan hal ini dari aku kecil. Ia menginginkan agar aku dapat memperoleh pendidikan yang bagus di ibu kota Negara, bahkan Ayah sudah mempersiapkan tabungan khusus pendidikan untukku.

Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Aku menoleh ke belakang, bibi Donna rupanya yang masuk. Aku tersenyum melihatnya. Bibi Donna masih mengenakan kemeja dan rok yang sama dari semenjak ia pergi meninggalkanku tadi pagi untuk bekerja. Dia terlihat sangat lelah. Dia bekerja cukup keras. Sekarang ia tidak hanya harus menangggung biaya kehidupannya sendiri, tapi juga harus membiayai kehidupanku. Satu informasi yang akan aku bagikan adalah Bibi Donna merupakan seorang pengacara.

High School DisasterWo Geschichten leben. Entdecke jetzt