Pertemuan

28.1K 1.2K 18
                                    

Telepon rumah berdering. Aku yang sedang asyik memotong sayuran di dapur seketika berhenti dan berlari ke arah sumber suara. Tanpa pikir panjang, kuangkat gagang telepon dan mendapati suara berat seorang pria di ujung sana.

"Dek Ri," panggil suara berat itu.

"Ayah?" Aku yang seumur hidupku mengenal suara itu cukup terkejut dengan pemilihan waktu orang tuanya untuk menghubunginya. Diam-diam kulirik jam dinding. Pukul 6 pagi. Bukankah terlalu pagi?

"Dek Ri lagi apa? Baru bangun?"

"Nggak, Yah. Dedek lagi masak. Ayah mau?" Hari ini aku akan membuat sop mutiara dan ayam fillet tepung. Kebetulan, Ayah selalu menyukai menu itu dan terkadang memintaku untuk membuatkan untuknya. "Dedek masak sop mutiara? Mau Dedek antar sekalian ke kantor?"

Terdengar suara tawa kecil dari Ayah. "Tentu dong! Sekalian ada yang mau Ayah kenalin sama kamu. Jadi, tolong bikin agak banyakkan, ya, Dek?"

Entah kenapa aku mengerti arah alur pembicaraan ini. "Mau ngenalin Dedek sama siapa?"

"Ada lah pokoknya. Hari ini kamu ga ngajar kan? Ayah sudah tanya jadwal kuliah Dedek sama bagian tata usaha kemarin. Jadi, nggak ada alasan sibuk ngajar loh, ya."

Jika Ayah sampai berkeras seperti ini, aku sangat yakin ini adalah salah satu rangkaian perjodohan untukku. Sudah beberapa kali beliau melakukannya dengan mengenalkanku pada beberapa anak rekan kerjanya. Mereka rata-rata adalah anak dari pengusaha kaya yang kebetulan memakai jasa import-eksport perusahaan Ayah. Ayah tampaknya begitu mengkhawatirkanku yang terlalu lama berkecimpung dalam karirku dan lupa akan pernikahan.

Aku sebenarnya tidak mempermasalahkan dan membuka hati di setiap perjodohan yang dilakukan Ayah. Aku pun bukan tipe yang akan menolak kata-kata orang tuaku. Tapi, sebagian besar dari anak laki-laki yang diperkenalkan padaku adalah tipe anak yang hanya suka pamer dengan kekayaan orang tuanya. Tentu saja, pendapat suka atau tidak sukaku selalu kukatakan pada Ayah dan Ibu. Mereka tetap meletakkan pilihan kepadaku.

"Dedek kan sudah bilang, Dedek nggak suka sama anak-anak kaya itu, Ayah. Dedek yakin mereka nggak akan bisa bertanggung jawab ke Dedek kalau di pikiran mereka cuma harta orang tua."

"Iya, Ayah tahu kok maunya Dedek gimana. Percaya sama Ayah, Dedek pasti cocok sama yang kali ini."

Aku sedikit mendengus. "Iya, Ayah."

"Jangan lupa bawa sop mutiaranya, ya, Dek. Agak banyakan loh." Ayah terdengar gembira.

"Iya, Ayah. Salam buat Ibu." Aku menutup telepon.

Sepertinya Ayah yakin sekali. Aku menghela napas berat. Aku harus segera memasak dan siap-siap untuk ke kantor Ayah.

***

Sebuah dress biru pastel panjang menutup lekuk tubuhku. Detail broklat berwarna emas menghiasi pinggiran-pinggiran dress. Kukenakan juga luaran berupa cardigan berwarna nude untuk menyempurnakan penampilanku.

Warna merah fanta kupilih sebagai pemulas bibirku kali ini. Sedikit goresan pensil eyeliner menghiasi mataku, membuat wajahku kelihatan lebih fresh.

Tas bahu berwarna hitam dan sepasang sepatu flat berwarna coklat akan menemani perjalananku hari ini. Tidak ketinggalan, aku membawa sebuah rantang yang cukup besar untuk membawa masakanku.

Kucek semua pintu dan jendela di rumah sebelum pergi. Selain kulkas dan penghangat nasi, semua alat elektronik sudah dimatikan. Kompor gas pun sudah kuperiksa kembali kalau-kalau aku lupa mematikannya.

Hari ini kuputuskan untuk membawa mobil. Jarak kantor Ayah cukup jauh. Jika aku memilih untuk naik angkot, akan perlu waktu yang cukup lama untuk tiba di sana.

Sebelum sempat membuka garasi, tiba-tiba saja sebuah sedan yang kukenal berhenti di depan rumah. Andre yang keluar dari mobil, memicingkan matanya ke arahku. "Mau kemana?"

Kenapa dia datang? "Aku harus pergi. Pulanglah."

Pria itu berjalan ke arahku, lalu mengambil rantang dan tas bahuku. "Aku akan mengantarmu."

Tidak seharusnya aku pergi dengannya. Apalagi jika tahu aku akan bertemu seorang pria untuk perjodohan.

"Kenapa diam?" Tampak Andre telah membukakan pintu depan, bagian penumpang di samping pengemudi.

"Sebaiknya, aku pergi sendiri. Tempatnya lumayan jauh. Aku tidak mau merepotkanmu."

Andre hanya diam menatapku. "Masuk." Ada nada perintah di dalamnya.

Aku hanya menghela napas berat dan mengikuti perintah Andre. Dia menutup pintu mobil di sampingku, tampak berjalan memutar, lalu duduk di kursi pengemudi. Kulirik Andre yang memakai setelan kasual hari ini. Kaos berkerah merah, jeans belel, dan sepatu kets berwarna putih. Saat seperti ini dia benar-benar terlihat seperti anak kuliahan pada umumnya. Aku yakin orang-orang akan mengira aku adalah ibunya jika kami berjalan bersisian.

Saat mobil Andre memasuki jalan raya, aku memulai membuka pembicaraan. Walaupun hanya sebatas menyebutkan alamat kantor Ayah. Aku tidak akan mulai menjelaskan apapun pada Andre, karena pada akhirnya akan selalu memperburuk keadaanku. Jadi, aku memutuskan menikmati perjalanan, membiarkan tubuhku bersandar dan memandangi keadaan jalan.

Jalan cukup macet hari ini, membuat perjalanan kami memakan waktu lebih dari setengah jam. Andre menghentikan mobilnya di depan pintu gedung tinggi berlantai delapan. "Terima kasih." Kuambil barang-barangku dan keluar dari mobil. Lebih baik dia tidak mengetahui tujuanku ke sini.

Tangan Andre menarik lenganku. "Kamu tidak ingin mengenalkanku pada ayahmu?"

Aku terkejut. Tiba-tiba begitu banyak pertanyaan di benakku. Namun, sesaat aku ingat bagaimana dia mengetahui hubunganku dengan Yoga. Tentu saja, akan mudah sekali untuk mengetahui latar belakangku dan keluargaku.

"Aku ingin bertemu dengan beliau."

Lagi-lagi, aku terkejut karena Andre memutuskan untuk ikut keluar dari mobil. Dia berjalan mengekor di belakangku hingga resepsionis. Beberapa pasang mata melihat ke arah kami, tampak seperti ingin tahu "siapa pria yang sedang bersama anak presdir".

"Sinta, apa Ayah ada di ruangannya?" tanyaku pada salah satu wanita berpakaian sangat rapi di balik meja resepsionis.

"Oh, ada, Mbak Riana. Beliau barusan selesai rapat dengan Pak Sunu." Sinta melirik ke arah Andre, lalu sedikit mendekatkan wajahnya kepadaku. "Pacar baru, Mbak?" bisik Sinta.

"Bukan." Aku balas berbisik, merasa tidak nyaman dengan percakapan ini. "Ya sudah, aku naik dulu ya?"

Seperti seorang bodyguard, Andre hanya diam dan tidak menunjukkan ekspresi apapun. Dia tetap mengekorku hingga kami naik ke lantai tertinggi di gedung ini, lantai 8.

Nuansa di lantai 8, sengaja dibuat Ayah berbeda. Di semua lantai sebelumnya, konsep modern yang penuh warna hitam putih, sedangkan di lantai teratas ini Ayah menggunakan konsep kayu. Walaupun masih terdapat perabotan berwarna hitam dan putih, beberapa bagian lebih banyak diwarnai dengan warna kayu dan daun.

"Aku sangat salut dengan desain gedung Ayahmu. Beliau benar-benar arsitek yang hebat." Andre melihat ke sekitarnya saat kami berjalan menuju sebuah ruangan besar di ujung jalan.

Aku tidak bergeming. Aku pun tidak terkejut lagi jika Andre sudah mengetahui identitas orang-orang terdekatku. Dia pasti mengetahui bahwa tidak hanya export-import, Ayah pun masih bekerja sebagai arsitektur.

Kuketuk daun pintu di depanku. Sebuah suara berat dari dalam ruangan menyuruh kami untuk membukanya. Entah kenapa aku cukup gugup saat membuka pintu dan berharap tidak ada orang selain Ayah di ruangannya.

Tampak Ayah duduk di balik meja kerjanya yang besar. Beliau tersenyum lebar saat melihatku muncul dari balik pintu. "Gimana perjalanannya tadi ke sini?" tanya Ayahku sambil membantuku mengambil rantang di tanganku.

"Macet, Ayah."

Ayah menatap seseorang di belakangku. Tampaknya beliau cukup terkejut dengan kehadiran Andre bersamaku. "Loh? Nak Andre datang bareng sama kamu, Dek?" tanya Ayah.

Jadi Ayah sudah kenal Andre?

PossessiveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang