Ketidakpastian

47.1K 1.5K 16
                                    

Sudah hari kelima aku mendapat penjagaan penuh dari Andre. Seperti tahanan, kemanapun dan apapun yang kulakukan harus dengan ijinnya. Pulang dan pergi mengajar, selalu akan ada seseorang mengantarku atas perintahnya.

Sejak terakhir kali dia menerima telepon dari Gilang, Andre selalu mengecek isi telepon genggamku. Semua kontak pria yang tidak disukainya, dihapus. Nomor teleponku pun diganti dengan yang baru. Message dan chatting yang membuatnya marah, dihapus. Beberapa akun kenalanku di block, tidak terkecuali dengan Gilang.

Aku tidak menyukai perlakuan Andre padaku. Tapi, setiap aku melawannya, dia akan mengeluarkan ancaman dan memperlakukanku dengan kasar. Dia tidak memukulku ataupun menyakitiku secara berlebihan, tapi dia akan melecehkanku dengan semaunya.

Ciuman kasarnya dan kiss mark yang dilakukan Andre tadi pagi masih membuatku kesal. Dia tidak menyukai pewarna bibir yang kugunakan. Andre menganggapnya terlalu mencolok dan berlebihan. Pakaianku pun menjadi sasaran kemarahannya. Kemeja satin berwarna navy dan celana bahan yang kugunakan menurutnya akan membuat seisi kampus terangsang melihatku. Kurasa tidak lama lagi isi lemariku akan dibuang Andre dan diganti sesuai keinginannya.

Aku lebih tua. Aku bahkan tidak paham apa hubungan kami. Tapi kehidupanku tiba-tiba berubah 180 derajat setelah dia menyetubuhiku di toilet kampus.

"Bu Riana baik-baik saja?" tanya Nia sambil memberikan segelas kopi padaku. "Akhir-akhir ini wajah Ibu jadi sering pucat dan lesu. Apa karena saat jatuh di toilet itu?"

Aku hanya menyunggingkan senyum. "Aku baik-baik saja. Mungkin hanya kelelahan. Terima kasih selama seminggu ini sudah menggantikanku mengajar. Apa mengganggu tesismu?"

"Tidak sama sekali. Lagipula, tesisku sebentar lagi selesai. Jadi, aku lebih banyak waktu senggang." Nia menyeruput jus jeruk di depannya. "Oh, ya, Bu! Kak Gilang mencari Ibu. Apakah Ibu tidak memberitahu nomor telepon baru Ibu?"

"Akhir-akhir ini aku sering ditelepon penguntit, jadi aku mengganti nomor." Tidak semua bagian yang kukatakan adalah kebohongan.

Aku menyesap kopi hitamku, berharap sakit kepala yang baru saja muncul dapat mereda. Begitu rumit jika aku harus berkata jujur pada Nia. Nia kemungkinan besar akan menceritakan pada kakaknya, Gilang.

Telepon genggamku bergetar. Nama Andre tertulis di layarnya. Tak hanya aku, bahkan Nia pun bisa melihat panggilan telepon itu dari tempat duduknya. Aku tetap menyesap kopiku, mengabaikan pandangan Nia yang menatapku bingung. Tapi, tampaknya Nia tidak berani bertanya apapun padaku saat ini. Jadi, dia kembali menatap gelas jusnya.

"Siapa yang menjemputmu? Gilang?" tanyaku, mencairkan suasana.

"Iya, Bu. Mungkin sebentar lagi datang. Aku sudah memberitahukan posisiku padanya." Nia melirik jam tangannya. "Apa Ibu mau ikut kami pulang?"

Aku menggeleng. "Masih ada pekerjaanku yang belum selesai. Nanti aku akan minta seseorang mengantarku pulang."

"Hai!" seru seorang pria berkemeja biru, kelihatan dengan jelas bahwa dia adalah seorang eksekutif muda. Gilang mengambil duduk di samping adiknya, berhadapan denganku. "Belikan kakakmu ini sesuatu. Aku sudah jauh-jauh menjemputmu ke sini merelakan jam istirahatku."

Nia memasang wajah kesal. "Kakak sendiri yang tadi pagi maksa buat jemput. Dasar aneh." Nia bangkit dari duduknya dan melakukan perintah kakaknya walaupun terus mengomel tidak jelas.

Aku hanya tertawa melihat kakak beradik di depanku. Sejak dulu, mereka memang sering bertengkar seperti ini. Tapi, itu lah kasih sayang yang mereka berikan satu sama lain. Dibalik pertengkaran itu, mereka selalu memuji dan mengagumi saudaranya.

PossessiveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang