Extra: Cinta Pertama

1K 82 0
                                    

Semester ini, aku akan menyelesaikan kuliah pascasarjana dan membuat tesis. Aku masih perlu mencari bahan untuk melakukan penelitian. Tentu saja banyak yang dengan sukarela akan membantu penelitianku, terutama para mahasiswi yang sering menggodaku.

Walaupun aku adalah mahasiswa pascasarjana tingkat akhir, para mahasiswi sarjana masih sering muncul di depanku untuk mencari perhatian. Sejujurnya, aku tidak punya perasaan apapun pada mereka. Aku selalu bergonta-ganti pasangan dan mereka sama sekali tidak terusik akan hal itu. Tampak seperti sebuah rutinitas yang dimaklumi oleh seorang playboy.

Tidak pernah ada seks. Terkadang hanya sebatas skinship atau kencan biasa, tergantung permintaan si wanita. Aku selalu melakukannya dengan jalan aman, tidak ingin suatu saat hal ini menyerang balik diriku.

"Coba kamu ikut mata kuliah sarjana di jurusanku, Ndre. Kurasa itu akan membantu tesismu." Icha tiba-tiba muncul dari balik punggungku sambil mengintip layar notebook-ku. Dulu, kami kuliah sarjana di jurusan yang sama. Tapi, kami memilih jurusan yang berbeda untuk pascasarjana.

Dio tiba-tiba tertarik. "Yang dosennya hot itu kan?"

Icha mengangguk. "Aku sebagai perempuan aja mengakui kalau dia hot. Karena dia ngajar mata kuliah umum, jadi banyak mahasiswa jurusan lain rebutan ngambil kelasnya."

"Sayang banget aku sudah pascasarjana." Dio tampak kecewa. "Tesisku juga nggak ada hubungannya dengan mata kuliahnya, jadi nggak ada alasan buat ikut. Padahal, denger-denger dia masih single."

"Nggak mungkin juga dia suka kamu." Icha memutar bola matanya.

"Kapan kuliahnya?" tanyaku. Aku lebih tertarik untuk menyelesaikan tesisku dari pada menambah daftar antrian wanita di kehidupanku.

"Setengah jam lagi."

Aku menutup notebook di depanku dan membereskan beberapa barang. "Ok."

***

Icha, Dio, dan aku mengambil tempat duduk di baris belakang. Ruang kuliah bahkan hampir terisi penuh dengan mahasiswa laki-laki saat kami tiba, terutama barisan depan. Hanya terlihat beberapa mahasiswa perempuan di antaranya. Seperti kata Dio, pasti karena si dosen hot sehingga mahasiswa tampak berbondong-bondong mengikuti kelas ini. Bahkan tidak ada yang menyadari kehadiranku yang biasanya akan jadi bahan obrolan.

Ruangan yang riuh tiba-tiba menjadi hening saat seorang wanita masuk. Dia memakai flare pants putih dengan blouse biru bermotif bunga yang sengaja dimasukkan ke dalam celananya, serta kerudung berwarna abu muda. Dengan anggun, wanita itu meletakkan buku yang dibawanya di atas meja dan mulai menyapa para mahasiswa di depannya.

Aku terpana menatap wanita itu. Aku mengenalnya. Pertemuan pertama kami sudah bertahun-tahun yang lalu, tapi kenangan itu kembali seakan-akan baru terjadi kemarin. Dia cinta pertamaku.

"Beruntung banget aku bisa menyelinap masuk ke sini," bisik Dio. "Benar-benar cuci mata. Namanya siapa, Cha?"

"Riana," jawabku sebelum Icha menjawab pertanyaan Dio. "Aku tidak tahu kalau dia dosen di sini."

"Dia sudah cukup lama mengajar di sini. Walaupun ayahmu cukup berpengaruh di sini, kamu tidak mungkin mengenal semua dosen di kampus kan?" Icha menanggapi.

Sebenarnya, sejak aku mulai membantu pekerjaan orangtuaku, aku mencarinya dengan bantuan beberapa orang. Dia tidak memilih pekerjaan yang berkaitan dengan orang tuanya dan juga tidak lagi tinggal bersama mereka, sehingga cukup sulit untuk menemukannya. Mungkin saja aku dapat mengetahuinya dengan bertanya pada kedua orang tuanya karena mereka bersahabat dengan kedua orang tuaku. Tapi, aku tidak ingin mereka tahu kalau aku menginginkannya.

Sebelumnya, beberapa kali ada perbincangan tentang perjodohannya dengan kakak-kakakku. Tapi, kedua kakakku, Ryan dan Kevin memilih untuk membantu menjalankan perusahaan beberapa tahun lagi sebelum memikirkan tentang pernikahan. Kupikir itu adalah kesempatan bagiku.

"Kira-kira dia mau nggak ya sama brondong?" Pertanyaan Dio mengusikku. "Aku mau coba pendekatan sama dia."

Aku menoleh dan menatap Dio. "Dia punyaku," kataku dingin.

"Kamu menyukainya?" tanya Icha yang tiba-tiba tertarik dengan suasana canggung antara aku dan Dio.

Aku kembali mengubah arah pandangku ke Riana yang sedang menjelaskan materi di depan kelas. Aku sangat menyukainya. Hanya dia satu-satunya.

***

Sebuah pesan masuk berisikan nomor ponsel Riana baru saja kubuka. Tidak perlu waktu lama untuk mendapatkannya. Cukup menghubungi beberapa kenalanku dan aku sudah mendapatkan informasi yang cukup detail tentang semua kegiatan Riana di kampus. Bahkan aku mengetahui tentang beberapa hal di masa lalunya. Saat ini, aku akan mengamatinya, mencoba mencari cara untuk melakukan pendekatan yang layak.

Riana seperti magnet pria. Begitu banyak ketertarikan dari pria-pria di sekitarnya. Tapi, wanita itu sama sekali tidak bergeming dan tidak mengacuhkan pria-pria itu. Hingga tanpa kusadari, aku mengamatinya terlalu dekat. Aku yakin dia menyadari keberadaanku, tapi tampaknya dia tidak mengingatku.

Beberapa lama, sosok Riana semakin menggangguku. Saat berada di dekatnya, seperti ada dorongan seksual di dalam diriku. Aku memimpikannya tanpa busana hampir setiap malam dan itu membuatku sangat gila. Yang kutahu, kini setiap malam aku meneleponnya hanya untuk mendengar suaranya. Ya, wanita itu membuatku berperilaku seperti penguntit.

Walaupun aku tahu Riana beberapa kali mengganti nomor ponselnya karena ketakutan menerima teleponku, tapi aku tidak bisa menahannya. Cepat atau lambat, aku merasa akan melakukan kesalahan yang lebih besar dari ini. Hingga sebuah insiden muncul dan membuatku sangat marah.

Riana berkenalan dengan seorang mahasiswa pria di sebuah seminar umum yang diadakan kampus. Awalnya Riana hanya mencoba bersikap ramah kepadanya dan selalu menolak dengan sopan ajakan mahasiswa itu. Tapi, mahasiswa itu tidak menyerah dan mulai melecehkan Riana di tempat umum. Riana menamparnya di depan banyak orang.

Aku yang sangat marah saat itu, menyuruh beberapa orang untuk mencari informasi tentang pria itu. Mahasiswa itu membagikan rencananya kepada teman-temannya untuk mempermalukan Riana lebih dari sebelumnya. Dia akan melakukan penculikan dan pemerkosaan, serta merekam semuanya dengan kamera tersembunyi.

Sesaat itu juga aku menyuruh beberapa orang memberikan pelajaran pada pria itu. Kupikir amarahku akan mereda setelah melihat foto pria itu babak belur. Tapi, pada akhirnya aku semakin marah saat melihat Riana beberapa hari setelahnya.

Riana memakai blouse putih menerawang yang memperlihatkan bra hitam di baliknya. Para mahasiswa pria di kelas bahkan tidak fokus dengan materi yang dijelaskannya, karena teralihkan dengan tubuh moleknya. Bagaimana bisa para mahasiswa itu tidak melecehkannya?

Aku segera mengikuti Riana saat ke toilet. Beberapa orang kusuruh untuk berjaga-jaga di pintu luar dan mengisyaratkan tidak ada interupsi selama aku berada di toilet bersama Riana apapun yang mereka dengar. Bukan hanya kemarahan, rasa cemburu dan sikap posesifku yang berlebihan membuat kesalahan besar itu terjadi. Aku tidak pernah melakukan hal tidak logis seperti ini pada wanita lain. Aku hanya berpikir bahwa hanya aku yang bisa memiliki Riana. Hanya milikku.

(Note: Chapter ini merupakan chapter tambahan yang disisipkan penulis untuk kepentingan publikasi.)

PossessiveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang