Mimpi Buruk

48.3K 1.6K 7
                                    

Aku membuka mataku. Langit-langit kamarku menjadi pemandangan pertama yang kulihat. Tidak ada apapun yang berubah di kamarku, masih terlihat sama seperti terakhir kali aku melihatnya. Mimpikah?

Dering telepon genggam di meja kerjaku mengagetkanku. Tampaknya hanya sebuah pemberitahuan pesan singkat.

Aku bangkit dari tidurku dan merasakan nyeri di bagian intimku. Aku meringis sebentar. Di sudut hatiku, aku tahu bahwa kejadian itu bukan hanya sekedar mimpi. Aku hanya ingin mencari kemungkinan lain bahwa semua itu tidaklah nyata. Entah bagaimana nanti aku dapat menemukan buktinya.

Kubuka pesan singkat di telepon genggamku dari sebuah nomor tidak dikenal.

Pengirim : 08xx-xxxx-xxxx

Apa tidurmu nyenyak?
Hari ini aku akan menjengukmu.

(Andre)


Aku terhenyak. Kakiku lemas dan terduduk di lantai dengan telepon genggam masih di tanganku. Semua detik-detik peristiwa di kamar mandi kampus itu mulai membanjiri ingatanku. Wajahnya, detak jantung kami berdua, suara-suara vulgar kami yang memenuhi kamar mandi, serta sentuhan-sentuhan itu masih jelas kuingat.

Keringat dingin membasahi dahiku. Aku tidak tahu apa yang merasuki tubuhku saat itu. Aku bahkan sangat menikmatinya walaupun adanya penolakan-penolakan di awal. Pertama kalinya seorang pria menyentuhku dan diriku begitu menyukai perlakuannya pada tubuhku.

Air mata keluar dari sudut mataku. Harga diriku yang kujaga bertahun-tahun lenyap begitu saja karena seorang pria yang hanya kukenal namanya saja. Rasa malu menyelimutiku. Aku bahkan tidak ingin tahu apa yang akan dibicarakan orang-orang tentang aku dan pria bernama Andre itu.

Pengirim : 08xx-xxxx-xxxx

Jangan pernah berpikir untuk kabur dariku.

(Andre)

Lagi-lagi pria muda itu mengirimkan pesan singkat. Aku hampir berteriak histeris dan melempar telepon genggamku sebelum seseorang membuka pintu kamarku.

Kak Jelita tampak terkejut melihatku dan membantuku kembali ke ranjang. Dia mengusap kepalaku dan menghapus air mataku. "Apa kakimu masih sakit?" tanyanya dengan khawatir. "Kamu terjatuh di toilet kampus. Untung nggak terjadi apapun dengan kepalamu. Jangan memaksa berdiri. Kakak sudah bilang jangan pakai heels terlalu tinggi."

Aku hanya menatap Kak Jelita, terkejut. Dia tidak mengetahui kejadian sebenarnya. Apa yang dilakukan pria itu selama aku kehilangan kesadaran?

"Pacarmu mengantarkanmu pulang kemarin. Dasar! Kakak bahkan nggak tahu kalau kamu pacaran sama mahasiswamu sendiri." Kak Jelita tampak kesal. "Kakak kira kamu akan jadi perawan tua." Dia menyubit pipiku gemas. "Tidurlah lagi. Kakak akan membuatkan bubur untukmu."

Aku hanya terdiam melihat Kak Jelita berjalan keluar kamar. Kuharap ini hanya mimpi. Kuharap ini hanya khayalan cerita opera sabun yang pernah kulihat. Menangis pun sepertinya sudah tidak berguna. Aku sama sekali tidak bisa mengulang waktu.

***

Aku sudah menghubungi Nia, asisten dosen, untuk mengisi beberapa kuliahku. Tampaknya hari ini dan besok, aku harus beristirahat. Walaupun nyeri di tubuh bagian bawahku sudah menghilang, tapi trauma yang kurasakan masih membuat kepalaku sakit. Mungkin nanti malam aku harus minum obat tidur.

Kak Jelita meletakkan semangkuk bubur di meja di depanku. Aku sedang tidak berselera untuk makan dan hanya mengaduk-aduk isi mangkuk, berharap bubur itu bisa habis tanpa harus kumakan.

Di antara lamunanku, aku baru menyadari Kak Jelita baru saja membukakan pintu depan untuk seorang pria yang tidak asing lagi bagiku. Pria itu sudah duduk di kursi di sampingku. Kak Jelita sudah memberikannya segelas es jeruk dan makanan kecil untuknya. Aku bahkan tidak merasa kaget saat pria itu sudah akrab begitu saja dengan Kak Jelita.

"Riana, aku harus menjemput Lili dan Surya dari sekolah. Nanti malam aku akan kembali melihat kondisimu. Buburnya harus dihabiskan, ok?" Kak Jelita menatap pria di sampingku. "Aku titip Riana, ya, Ndre?"

"Iya, Kak. Aku akan menyuruhnya menghabiskan makanannya."

"Kalau ada apa-apa, telepon, ya? Aku pergi dulu." Kak Jelita melangkah meninggalkanku dengan Andre, lelaki yang sudah melecehkanku kemarin. Tentu saja dia tidak mengetahui bahwa pria di samping adiknya ini lah yang membuat semua hal trauma ini.

Tidak lama, terdengar suara mobil Kak Jelita berjalan menjauh dari rumahku. Aku terus menatap bubur di depanku. Aku tidak ingin peduli dengan pria di sampingku. Setiap aku melihat wajah Andre, ingatan kejadian di kamar mandi itu terus berulang di otakku. Marah pun rasanya sudah tidak sanggup karena aku terlalu lelah bahkan untuk berpikir.

Andre menarik sendok dari tanganku. "Kamu harus makan." Dia menyodorkan sesendok bubur kepadaku.

Dia kira aku seperti ini karena siapa!?

"Buka mulutmu." Nada memerintah Andre mulai keluar.

Aku sama sekali tidak mengacuhkan Andre. Bahkan, aku membuang muka, tidak ingin menatapnya.

"Riana, buka mulutmu atau kupaksa kamu makan dari mulutku?" Kali ini nada suaranya berubah menjadi sebuah ancaman.

"Kamu!" Aku menunjuk wajah Andre, sangat marah dengan perlakuannya. Apa orang ini tidak waras? Dia penguntit, memaksaku berhubungan seks, dan sekarang mengancamku!

"Memangnya aku tidak tahu kalau dirimu juga menikmatinya, Ibu Dosen?" Andre seakan-akan mengetahui isi pikiranku.

Aku tersentak. Dia membuatku semakin marah. "Aku bahkan tidak mengenalmu, Tuan Stalker! Jadi jangan sok tahu! Jangan sombong hanya karena orang tuamu bisa melindungimu!"

Semua umpatan keluar begitu saja dari mulutku. Aku sama sekali tidak peduli jika para tetangga bisa mendengarnya. Aku begitu marah dan Andre sama sekali tidak bergeming dari duduknya.

"Brengsek!" teriakku akhirnya dan ingin segera berjalan pergi menjauh.

Andre menahan lenganku dan menempelkan bibirnya di bibirku. Sesuatu masuk ke tenggorokanku, membuatku terbatuk-batuk. Kudorong tubuh Andre menjauh dan menyambar segelas air di dekatku.

"Aku sudah bilang, kalau kamu tidak mau makan, aku akan memaksamu," kata Andre. Matanya menatapku tajam. Dia sama sekali tidak main-main dengan ucapannya.

Suara dering telepon genggamku menggema. Panggilan dengan nama Gilang muncul di layar besarnya mengalihkan pandangan Andre dariku. Dengan cepat, dia menyambar telepon genggam itu dari atas meja.

"Siapa dia?" tanyanya. Tidak ada keramahan dari suara Andre. Dia tampak menuntut penjelasan dariku.

"Itu bukan urusanmu." Kucoba merampas teleponku dari tangan Andre. "Kembalikan!"

"Halo? Ini siapa?" Andre menerima panggilan telepon itu, membuatku semakin panik. Dia terdiam sejenak. Rahang Andre mengeras, membuat rasa takut menyergap tubuhku. "Jangan pernah berhubungan dengan Riana lagi. Dia milikku."

PossessiveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang