Chapter Nine [B]

5.2K 315 170
                                    

Mobil masih membelah jalan di Kemari Town

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mobil masih membelah jalan di Kemari Town.

Hari semakin siang. Lintang tetap waspada di belakang dasbor. Sementara Adil sibuk lagi dengan notes cokelat yang berada di genggaman.

Entahlah mungkin aku yang terlalu cepat menilai. Tapi aku merasa Lintang adalah wanita yang baik. Dia membuatku lebih mudah menjalani masa-masa sulit pasca amnesia.

Hari ini setelah melewatkan malam di mobil, dia mengajakku 'bertemu' ibu, meski aku tak tahu apa benar itu keinginanku dua bulan lalu. Tapi aku senang, ini menjadi hadiah kejutan di ulang tahunku yang ke 24. Jujur, saat ini aku merasa seperti remaja yang bahagia mendapatkan surprise ulang tahun.

Adil menyimpan kembali alat tulis di saku celana. Saat kepalanya terangkat lagi, pria itu sadar ada yang tak beres. Jalan yang diambil Lintang jelas bukan arah pulang ke Jamshed Town. Pria itu menjawil ujung dagunya. "Kau akan membawa kita ke mana lagi? Aku tahu ini bukan jalan yang kita lalui tadi."

"Kau tenang saja." Lintang membelokkan setir. "Yang harus kau lakukan saat ini, adalah tetap diam di tempatmu dan nikmati saja pemandangan di luar."

Mau tak mau Adil menurut, sebab kendali setir berada di tangan Lintang. Mungkin benar, ketika kendali ada di tangan wanita, dunia bisa mereka tundukan—tiba-tiba Adil ingat quote tersebut. Dan kini dia menjadi salah satu korban kekuasaan itu. Yang bisa Adil lakukan di dalam mobil hanyalah menatap tanah gersang khas pesisir pantai. Mereka telah berada di kawasan Ras Muari.

Adil membelalak ketika tahu Lintang menepikan mobil di sekitar Cape Mount—kawasan yang sering dijadikan pelarian penghuni Karachi untuk berdamai dengan alam. Cape Mount adalah salah satu pantai luas yang menghadap Laut Arab. Lokasi ini benar-benar tak berpohon. Hanya pantai luas yang dibentengi tebing-tebing tinggi yang bercorak. Dari tebing yang membentang, siapa pun bisa menyaksikan hamparan laut serta pantai yang memanjang dengan bentukan cekungan yang aduhai. Pantai ini juga dikenal dengan nama Cape Monze.

"Kau tahu saja tempat yang indah." Pandangan Adil menjauh ke pantai.

"Aku hanya ingin membuat ulang tahunmu tidak seperti tahun-tahun sebelumnya." Lintang mengedip-ngedipkan mata, angin bertiup terlalu kencang.

Mereka menuruni tangga yang membelah tebing menjadi dua bagian. Tangga ini adalah jalan masuk menuju pantai di bawah. Lingkungan ini mengingatkan Lintang dengan pantai Pandawa, Bali. Tapi kesan sunyi di pantai membuat Cape Mount terasa lebih privat.

"Baru kemarin aku merasa umurku 19 tahun, tapi sekarang kenyataannya aku adalah pria berumur 24 tahun dengan banyak masalah. Kaki pincang, lupa ingatan dan entah apa lagi yang akan kuhadapi setelah ini."

"Jangan meratapi dirimu sendiri."

"Aku selalu mencoba begitu Lintang, tapi setiap kali melihat orang lain normal, sebagian dalam diriku merasa hidup ini tak adil."

Lintang berhenti di anak tangga paling dasar. Dia mencoba menerawang wajah Adil. Sekian detik wanita itu membisukan suara, dia tahu alasannya mengapa sampai dia memilih untuk tidak bicara lagi.

"Tapi mungkin aku harus menerima kekuranganku," Adil mencoba berbesar hati. "Hei, kenapa kita harus membahas kekuranganku? Bukankah kita ke sini untuk bersenang-senang?"

Langkah-langkah mereka kini sudah menjejak di atas pasir. Hamparan luas pasir membentang dari ujung ke ujung. Butirannya kecil dan halus. Siang itu hanya ada beberapa pengunjung di Cape Mount. Adil dan Lintang memutuskan berjalan-jalan sembari sesekali mengikuti gerak kawanan burung pelikan di udara. Deburan ombak menjadi musik alam yang enak di pendengaran. Sementara tebing-tebing di samping mereka seolah membentuk benteng kerajaan yang enak dipandang. Angin makin kencang bertiup.

"Apa sebelumnya kita pernah ke pantai?" tanya Adil tiba-tiba.

Lintang tersenyum. "Pernah sekali."

"Oya?"

"Dan pantai itu adalah Cape Town ini!" Dua tahun lalu, saat liburan panjang penutup tahun, Adil mengajak semua kawannya ke sini. Yang bersedia hanya Lintang. Fahad sibuk dengan keluarganya liburan ke Delhi, India. Sementara Ayesha lebih memilih pulang ke Peshawar.

"Apa yang kita lakukan di sini?"

"Pertanyaanmu aneh," Lintang nyaris tertawa. "Kita hanya menikmati pantai senormalnya orang piknik. Kau mandi seharian dan setelah itu kita bergabung dengan pengunjung lain menunggu sunset. Hanya itu."

"O, kupikir ada hal spesial yang kita lakukan di sini."

Mendadak Lintang mendongakkan kepala ke samping Adil. Tubuh pria ini terlalu jangkung. Kata 'spesial' yang dilontarkan Adil barusan seperti sebuah pancingan—entah apa. Namun Adil tidak membuka percakapan lagi sampai alas kaki mereka semakin banyak membentuk pola di atas pasir. Untunglah cuaca yang berawan cukup membantu mereka bertahan lama mengukur garis pantai. Ketam-ketam yang berlari kadang menarik perhatian mereka.

"Aku merasa bahagia hari ini," komentar Adil ketika mereka memilih rehat di bawah bayangan tebing.

"Jika demikian aku juga turut senang," balas Lintang.

.....bersambung ke Chapter Nine [C]

Author Note:

-Chapter ini adalah perjalanan terakhir Lintang dan Adil di Kemari Town.

Amnesia: Karachi Untold Story (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang