Chapter Seven [D]

5.3K 307 90
                                    

Beberapa jam sebelumnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Beberapa jam sebelumnya....

Ayesha kembali melirik jam di pergelangan tangan, sudah pukul 10 lewat. Batang hidung Lintang belum muncul di ruangan sejak tadi. Kelas Profesor Ali malah sudah berakhir setengah jam yang lalu. Jika sepuluh menit berikutnya Lintang tak kunjung masuk ruangan maka dia akan melewatkan satu mata kuliah lagi.

Wanita itu memutar-mutar pena. Dia tampak berpikir sebentar. Barangkali Lintang ada urusan lain, tapi bukankah tadi dia menyiapkan buku, paper, dan diktat? Jika dia bolos kelas berarti dia ke mana? Ayesha meletakkan pena di meja. Seharusnya dia bisa menelepon Lintang saat ini juga. Tapi entahlah, dia tidak ingin melakukannya.

***

Menjelang senja barulah Ayesha mendapati kehadiran Lintang. Sahabatnya itu masuk apartemen dengan wajah sedikit berminyak. Rambutnya agak acak-acakan, dan bau hangat tersebar dari baju kemeja yang dikenakan.

Ayesha yang sedang mengelap kaca jendela menjeda aktivitasnya. Dengan tangan yang masih terbungkus sarung, wanita itu beringsut mendekati Lintang. Posisi Lintang sekian senti dari pintu. "Kau dari mana?" tembak Ayesha langsung. "Aku tidak melihatmu di kampus hari ini, bahkan kau absen tiga kelas."

"Aku—" henti Lintang sebentar. Dia tahu Ayesha akan bertanya demikian. Memang sejak menumpangi bus yang membawanya kembali ke Jamshed Town, wanita itu kerap memikirkan reaksi Ayesha jika mereka bertemu. Sahabatnya pasti akan memberondongkan sejumlah pertanyaan tentang ketidakhadirannya di kampus. Lintang melepas tali tas yang menggantung di bahu. Mau tidak mau dia harus berkata jujur, sebab cepat atau lambat Ayesha akan tahu kunjungannya ke penjara. "Aku dari Gulshan Town."

Bola mata Ayesha melebar.

"Aku membawa Adil ke sana, menjenguk ayahnya," jelas Lintang hati-hati. "Kau tahu sendiri, sebulan lalu aku mengabari kecelakaan Adil kepada ayahnya. Kurasa setelah Adil siuman, Paman Najaf juga harus tahu keadaannya. Lagi pula Adil sendiri memang rindu bertemu dengan ayahnya."

"Tapi kenapa kau harus berbohong padaku tadi pagi? Menyiapkan bukulah, paperlah, diktatlah. Bahkan menyuruhku ke kampus duluan."

"Aku harus melakukannya karena kupikir jika aku memberi tahu, kau akan melarang," Lintang membocorkan alasannya. Dia ingat kejadian sebelumnya yang membuat mereka ribut kecil setelah kepergiannya ke Central Jail Karachi.

"Oh Lintang, kau pikir aku ini bodyguard-nya keluarga Adil?" Ayesha melebarkan kedua tangannya ke hadapan Lintang. "Paman Najaf berhak mengetahui keadaan Adil. Dan Adil juga berhak bertemu ayahnya."

Mendengar itu Lintang sedikit lemas. Kalau tahu begini kenapa dia harus susah-susah bertahan di kamar tadi pagi?

"Lalu bagaimana keadaan Paman Najaf?" tanya Ayesha kemudian, wanita itu kembali ke jendela melanjutkan pekerjaannya.

Lintang hendak menuju kamar. "Sehat, hanya saja dia kelihatan sedikit kurus."

"Syukurlah kalau beliau sehat. Aku jadi kangen padanya."

"Harusnya kau sesekali datang menjenguk Paman Najaf," saran Lintang. Wanita itu lantas masuk kamar. Sepertinya dia butuh air hangat untuk merileks badan senja ini.

.....bersambung ke Chapter Eight [A]

Author Note:

-Chapter ini sedikit (secuil) aja. Masih lanjutan Chapter sebelumnya. Sampai ketemu ke Chapter Eight, ya readers!

Amnesia: Karachi Untold Story (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang