Chapter Four [B]

6.9K 473 147
                                    

Pagi ini, semangat Lintang melipat ganda

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi ini, semangat Lintang melipat ganda. Pasalnya keinginan mengunjungi Adil, sebentar lagi akan terwujud. Di kamar dia mengatur barang bawaan ke dalam tas. Botol mineral, sapu tangan, tisu, dompet, charger dan alat make up seadanya. Ini penting karena memang hari ini mereka akan sampai petang di rumah sakit. Seperti biasa, Lintang mengenakan kemeja lengan panjang dan rok lebar.

Ayesha menemui Lintang di kamar, ketika sahabatnya sudah membereskan tas. Ayesha membawa kotak makanan. Mungkin bisa jadi bekal nanti di rumah sakit. Wanita yang menggunakan kerudung polos itu, langsung duduk di atas ranjang. "Harusnya aku juga izin seminggu ke pihak kampus kemarin," ujar Ayesha separuh menyesal karena ternyata bolak-balik rumah sakit menyita waktu. "Aku harus bolos hari ini."

Lintang memandang lurus sahabatnya, dan diam sebentar. "Thanks, sudah mengurus izinku."

"Itulah gunanya sahabat." Ayesha meraih punggung tangan Lintang. "Ya sudah sekarang kita ke bawah, Fahad sudah menunggu dari tadi," ajak Ayesha.

Keduanya bergegas, mengunci pintu dan turun ke lantai dasar.

Tiba di parkiran, Fahad langsung menyapa Lintang. Memang sejak operasi Adil mereka tidak pernah bersua. Fahad yang berdiri di depan kap mobil lalu merebut kotak makanan dari Ayesha dan meletakkannya di jok belakang.

Mereka meninggalkan apartemen pukul sembilan lewat. Posisi Lintang berada di samping Fahad, sementara Ayesha duduk di jok belakang. Seperti kemarin, cuaca Karachi lumayan hangat. Memang awal April selalu menjadi pintu masuknya musim panas yang akan berlangsung hingga tujuh bulan ke depan. Orang-orang yang biasanya meringkuk di ranjang mereka saat hujan turun di bulan Maret, akan berhamburan di jalan menyambut musim panas, termasuk di jalanan Jamshed Town yang dilalui mobil Fahad pagi ini.

Cukup singkat mengemudi hingga Fahad menepikan mobil di area parkir Omi Hospital. Mereka kemudian mengikuti prosedur besuk. Beruntungnya mereka mendapat izin masuk tiga orang sekaligus ke dalam ruang pasien—yang seharusnya dibatasi. Lintang posisinya paling depan ketika mereka bergerak ke ruangan Adil. Malah wanita itu pula yang membuka pintu ruangan dan menjadi orang pertama menjejakkan kaki di ruang pasien.

Lintang menyetopkan langkah setengah meter dari garis pintu. Benar kata Ayesha, alat bantu napas dan pendeteksi jantung sudah lenyap dari tubuh Adil. Tidak terdengar lagi bunyi tut dari mesin pendeteksi jantung. Wanita itu lalu mendekati ranjang Adil, meninggalkan Ayesha dan Fahad yang berada di belakang. Teliti wanita itu mengamati wajah Adil. Rona wajahnya tidak kucam. Hanya saja Adil seperti kehilangan bobot badan. Mungkin dua kilo, sebab tak satu pun makanan masuk ke dalam lambungnya sejak lima hari lalu.

Fahad dan Ayesha saling melirik. Mereka mengerti psikologis Lintang.

Lintang terdiam sebentar memperhatikan lengan Adil, sebelum menoleh ke arah Fahad dan Ayesha. "Apa aku boleh memegang tangannya?" tanya Lintang.

"Boleh, sangat boleh," ujar Ayesha spontan, walaupun dia tahu mungkin saja dokter melarang.

Sementara Fahad mengangguk membenarkan kalimat Ayesha.

Amnesia: Karachi Untold Story (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang