Chapter Five [C]

6.1K 394 167
                                    

Ternyata kasur menjadi teman baik Adil semalaman

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ternyata kasur menjadi teman baik Adil semalaman. Berkat benda tersebut Adil nyenyak tidur, sampai-sampai lupa kalau fajar sudah terbit sepuluh menit lalu.

Pagi itu setelah bangun, Adil membawa diri ke jendela. Dia membuka tirai dan melebarkan daun jendela. Angin masuk menerpa wajahnya. Terasa sejuk. Dari lantai dua ini, dia menjauhkan pandang ke bawah. Rumah-rumah di sekitar memiliki taman yang hijau—tak seperti dulu. Jalan aspalnya juga lebih licin dan beberapa pohon subur tumbuh dengan batang-batang yang besar.

Sepuluh menit berikutnya, Adil menegak di depan cermin. Pria itu lekat-lekat mengamati wajahnya. Bulu-bulu banyak memenuhi rahang pipi dan kulit wajahnya lebih mulus. Pria itu lalu meraba kepala, dan membuka perban. Dia menyibak rambutnya yang lebat, mencari letak luka di kepala. Luka tersebut sudah mengering. Bekas cukuran di sekitar luka tampak licin. Usai menerawang pria itu menutupi kembali luka dengan rambutnya.

Tepat jam delapan pagi, Adil membersihkan diri di kamar mandi. Dia juga sarapan cepat. Hari kedua tiba di rumah, membuatnya penasaran akan Jamshed Town—yang secara kenyataan telah dia lupakan selama lima tahun. Pria itu meninggalkan rumah, dan mengelilingi Razi Road. Rumah-rumah di sini, hanya sedikit mengalami perubahan, namun kerapatannya sedikit lebih padat. Pria itu menyapa beberapa tetangga yang dikenal.

Berputar-putar di Razi Road, Adil memutuskan ke tanah lapang yang berada di ujung kompleks. Tempat ini merupakan spot favoritnya jika mendapat jatah libur dari pelatih. Dia sering memfungsikan lokasi ini sebagai tempat latihan tambahan bersama remaja sebanya dulu. Adil duduk di atas silinder-silinder beton yang disusun. Pria itu memonitor enam remaja yang tengah asyik menggiring bola.

Lama memperhatikan, kaki Adil gatal. Dia ingin bergabung dalam permainan. Pria itu loncat dari tumpukan silinder beton. Dia menyeret-nyeret kaki ke bibir lapangan. Tiba-tiba pria itu berhenti sendiri, dan terdiam. Kakinya mustahil untuk diajak normal bermain bola, sadarnya kemudian. Lagi pula sekarang dia bukanlah pria berumur 19 tahun, dan jelas tak sepadan mengguling bola bersama remaja-remaja itu. Adil memutar tubuhnya dan menjauh dari enam remaja tadi. Pria itu merasakan ada yang hilang di dalam dada. Dengan desah napas yang fluktuasi, Adil keluar dari tanah lapang yang sudah menemaninya bertahun-tahun.

---

Di lokasi lain siang itu, setelah mata kuliah ekonomi berakhir Fahad membawa kendaraannya ke depan fakultas. Dia berniat bertemu Ayesha dan Lintang. Di Institute of Business Administration Karachi, Fahad adalah mahasiswa Ekonomi dan Keuangan. Jurusan tersebut memang sudah lama diincar sejak lulus sekolah menengah. Sedangkan Ayesha, Lintang dan Adil tercatat sebagai mahasiswa Manajemen.

Dari jauh Fahad sudah mendeteksi kehadiran Lintang dan Ayesha di halaman depan fakultas. Mereka janjian bertemu di situ. Pria itu menepikan mobil, dan menyilakan dua wanita tersebut naik.

Seperti biasa Lintang berada di samping Fahad. Ayesha menempati jok belakang, dia lebih nyaman berada di situ. Fahad kemudian menurunkan spion di atas dasbor agar bisa memonitor keadaan di belakang mobil.

"Jadi kapan kita bisa bertemu Adil," Lintang tidak sabaran.

"Iya nih," Ayesha menimpali. "Kita seperti tawanan yang dibatasi ruang geraknya."

Fahad memutar setir, hendak membelokkan mobil. "Sabar saja dulu. Pelan-pelan." Fahad membunyikan klakson karena di depan beberapa orang memakan jalur bannya. "Kemarin Adil banyak bengong. Sepertinya dia kaget akan perubahan. Sewaktu perjalanan pulang dari rumah sakit dia asing menyaksikan Jamshed Town yang kian padat. Di rumah pun, dia lebih banyak bisu."

"Tak ada yang mudah bagi seorang penderita amnesia, melewati perubahan mendadak dalam hidupnya," Ayesha berkomentar.

"Tapi—" Fahad menjeda. "Dia memuji masakan kalian."

Ayesha langsung menongol wajah di sela-sela jok depan. Dia menampakkan senyum. "Masakanku enak karena bantuan dari Lintang," terang Ayesha.

Lintang menjeling Ayesha. "Aku hanya membantu memotong dan membersihkan bahan-bahannya. Sementara 98% dari hasil masakan itu adalah murni racikan tangan Ayesha," Lintang membocorkan kebenarannya.

"Aku juga mengenalkan kalian pada Adil," cerita Fahad selanjutnya. "Aku hanya menceritakan kalau kita bersahabat. Hanya sebatas itu. Kurasa informasi masa lalu Adil harus diberitahukan bertahap. Lagi pula dokter menyarankan agar pelan-pelan menceritakan masa lalu Adil. Dia juga harus sering berada di tempat-tempat yang dia sukai untuk mengenal kehidupannya dulu."

Mobil Fahad meninggalkan halaman utama Institute of Business Administration Karachi.

"Tapi jujur meski sudah berteman sejak kecil, untuk masalah pribadi aku buta akan Adil. Yang kutahu dia hanya suka bola, stadion, dan latihan. Just it. Dia jarang menceritakan hal-hal di luar itu."

Kecepatan mobil Fahad meninggi, melintas ke arah selatan. Tujuannya memang mengantar Lintang dan Ayesha pulang ke apartemen.

"Mungkin agak sore baru aku ke rumah Adil," Fahad memberi tahu.

Jujur kalimat Fahad barusan ingin disambut Lintang dengan omongan semisal boleh aku ikut? atau sampaikan salamku padanya. Tapi apa daya kalimat-kalimat tersebut hanya sebatas kerongkongan. Adil belum bisa menerima banyak informasi termasuk tentang dirinya.

Butuh beberapa menit lagi sebelum mobil Fahad tiba di apartemen. Fahad sendiri menolak ajakan Ayesha dan Lintang makan siang. Pria itu ingin balik cepat ke rumah.

.....bersambung ke Chapter Five [D]

Author Note:
-Chapter ini sudah complete
-Author lagi nentuin cover baru, sekaligus lihat siapa yang dapat hadiah pulsa.
-Pengumuman pemenang sekaligus ganti cover dilakukan, setelah Chapter Five semuanya rampung (selamat menunggu).

Dear silent readers vomment please!

Amnesia: Karachi Untold Story (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang