10

983 113 13
                                    

Yerin

Aku tidak ingat perasaan semacam ini pernah mampir dalam hidupku atau tidak. Mendadak pandanganku terasa buram saat Chanyeol melepas perbanku dengan hati-hati, memperlakukanku dengan lembut bak barang antik berharga mahal.

Dalam sepanjang hidupku didunia tidak ada seorangpun yang memperlakanku selembut dan sehangat ini. Mengingat diriku yang tak pernah diinginkan ditengah-tengah keluarga membuat isakan tak sengaja keluar dari bibirku yang sengaja ku bungkam rapat-rapat sejak tadi.

Hal itu kontan merenggut atensi Chanyeol yang sibuk dengan tanganku. Matanya berkedip dua kali sebelum meraih daguku untuk dinaikkan.

Pandangan kami bertemu. "Kau menangis? Apa lukanya masih terasa sakit?" Ujarnya sambil menelisik raut kacauku.

Aku menggeleng pun rasa haru semakin menjadi-jadi tatkala jemari besar Chanyeol turut mengambil peran dalam menghapus air mataku.

Aku sudah tidak kuat untuk menahannya lagi hingga isakan terdengar semakin jelas dalam rungu kami masing-masing.

Ini sudah pukul tiga pagi. Keadaan sudah sangat sepi. Mungkin para penghuni apartemen akan mengira bahwa hantu ditaman belakang apartemen sedang meraung-raung mencari korban.

Aku tidak mau terlihat cengeng dihadapan siapapun. Aku selalu menjadi gadis kuat yang memasang topeng untuk melindungi dirinya. Tetapi malam ini rasanya semua hal yang ingin ku simpan rapat-rapat malah terkuak hanya karena sikap lembut orang baru yang bahkan telah masuk daftar sebagai orang yang ku benci.

Chanyeol tersenyum tulus tatkala menarik bahuku mendekat. Pelukannya terasa hangat pun telapak tangannya mengusap punggungku pelan. "Sshh, menangislah. Kau tidak harus jadi gadis kuat disaat superhero pun bisa menangis karena perasaannya terlukai."

Disaat yang sama aku malah menyahut konyol. "Maaf ya pundakmu jadi basah."

Setelah beberapa saat Chanyeol menjauhkan tubuh kami. Ia terkekeh-kekeh ketika mengeluarkan sapu tangan dari saku jaket miliknya.

Usai menghapus air mataku ia balas bertanya. "Sudah mengantuk, ya?"

"Kau tidak bertanya alasan kenapa aku menangis?" Tanyaku heran.

Dia menggeleng lantas mengambil telapak tanganku kembali dan menuntaskan tugasnya. Chanyeol meniup pelan bekas lukaku yang sudah mengering. Ia mengusap-usapnya dengan lembut dan menyimpannya dalam genggaman.

"Apakah aku juga harus bertanya kenapa ingusmu banyak sekali?--ah, pundaku sampai basah, tahu?" Jawabnya sambil menunjukkan lingkaran hitam yang cukup lebar dipundaknya.

Aku mendecak jengkel sekaligus ingin memakinya dalam waktu bersamaan.

"Merasa lelah itu wajar, Yerin. Perasaan marah, kecewa, sakit hati, itu hal yang wajar." Pandangan Chanyeol beralih menerawang jauh pada langit malam yang gelap. Tidak ada bintang pun bulan yang hilang ditelan awan hitam. Mungkin sebentar lagi akan turun hujan. "Namun aku juga tidak memaksamu untuk mengatakan segalanya. Setidaknya untuk saat ini ada pundakku yang ku harap bisa sedikit meringankan bebanmu."

Hidungku yang sempat mampet kembali bisa berfungsi lagi. Disaat itu aku mencoba mengukuhkan diri untuk menatap netra Park Chanyeol.  Dari hari ke hari aku selalu menemukan hal baru darinya.

Park Chanyeol adalah orang yang sama yang telah menyiramku dengan secangkir kopi. Namun dirinya dalam pandanganku saat ini hanya ada sosok pria lembut dan penuh kasih sayang.

Apa aku mulai terjerat dengan pesona Park Chanyeol atau aku memang telah masuk ke dalam perangkap bodohnya.

Netra sehitam jelaga itu mengerjap lembut disaat jemarinya merambat pada kulit wajahku. Mengusap lembut tiap belah pipiku dengan sepasang jemari besar miliknya. "Aku tidak memintamu terbuka padaku. Kau bisa melakukannya pelan-pelan."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 10, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

The Day We MeetWhere stories live. Discover now