Secangkir Gayo

306 8 17
                                    

Jakarta malam mendadak bergetar. Suara mengagetkan yang menggaung di atmosfer itu kata orang Jawa dinamakan gledek. Tapi, bukan itu yang paling mengejutkan. Bukan itu yang mengagetkan keterjagaan Nicho di tengah hujan lebat. Ia sedang berteduh dan bersandar di depan pintu kaca sebuah kedai kopi yang sudah tutup. Dan terdengar ketukan pintu tiga kali dari dalam. Nicho berjengit dan berbalik badan karena kaget. Dikiranya ada penampakan makhluk halus berwujud perempuan horror. Tapi, wajah yang kini menatapnya di balik kaca malah tersenyum ramah padanya. Seketika Nicho tak jadi merinding. Ia pun dengan kikuk membalas. Perempuan itu pun membuka pintu.

"Masuk saja ke dalam, mas. Dari pada di luar cuacanya nggak bersahabat," katanya simpati saat memperhatikan penampilan Nicho yang sudah setengah basah terkena hujan.

"Saya nggak papa di luar aja. Lagi pula sudah tutup kan?" katanya tak enak.

Perempuan itu tak menggubris. Ia masuk beberapa langkah dan memundurkan salah satu kursi. "Duduk sini aja dulu," ia tersenyum simpul saat menoleh pada Nicho lagi, "Sebentar saya ambilkan handuk." Perempuan itu pun pergi ke dalam.

Nicho tak mengerti kenapa perempuan itu mau - mau saja membiarkan orang asing masuk ke dalam kedainya. Namun, Nicho juga tak ingin menunggu hujan lebat reda dengan kondisi memprihatinkan, sementara banyak orang sudah meringkuk di atas kasur yang nyaman. Ia pun duduk di kursi. Lalu tak lama kemudian, perempuan itu datang membawa sebuah handuk dan jaket parasut. "Ini pakai aja dulu, mas. Biar nggak kedinginan. Saya buatkan kopi dulu ya."

"Tunggu! Kalau boleh..." tahan Nicho.

"Saya tahu kok. Kopi hitam plus jadah bakar yang manis kan?" ia tersenyum.

"Kamu kok tahu?"

***

Tawa yang renyah terdengar dari kedua orang yang ada di satu meja itu. Suasana semakin akrab. Menyapu keheningan yang melingkupi kedai yang sudah tutup. Sesekali terselingi suara seruputan mulut yang mengecap pahit kopi di mulut cangkir. Lalu disusul manis gurih jadah bakar yang bertoping gula putih. Seakan kedua orang itu lupa pada suara guntur dan hujan deras di luar sana.

"Saya nggak mengira bakal bisa kenal kamu. Biasanya saya cuma lihat dari meja sebelah sana," katanya sembari menunjuk meja di sebelah jendela.

"Saya juga. Tadi belum bisa tidur. Waktu lihat dari jendela, kasihan sekali kok ada orang sendiri di depan malam - malam, nunggu hujan, hampir basah kuyup seperti itu."

Nicho tersenyum. "Kamu baik banget. Jadi, Arimbi ya... nama kamu bagus!" puji Nicho. "Tadi saya sudah merinding, ngira kamu hantu!" laki - laki itu pun terkekeh.

Perempuan bernama Arimbi itu tertawa. "Bagus dari mana, Nic? Jujur saja, aku kadang kurang suka nama panggilanku."

Dahi Nicho berkerut. Ia heran. "Lho kenapa? Apa kamu tahu arti namamu?"

Arimbi menggeleng. "Ada yang bilang Arimbi itu aslinya jelek."

Nicho berdecak. "Nama sendiri kenapa nggak tahu? Nggak mungkin dong orang tua setega itu kasih nama jelek buat anaknya. Arimbi itu dari bahasa Sansekerta. Cantik. Mitologi Jawa bilang ada seorang dewi, namanya Dewi Arimbi. Rupanya buruk, tapi punya hati yang cantik. Dia diutus kakaknya untuk bunuh Bimasena. Tapi, karena punya hati baik dan dilanda kasmaran, Arimbi lupa dengan tugasnya. Walaupun awalnya Bima menolak, dia tetap setia. Arimbi selalu ada untuk Bima dan keluarganya di saat suka dan duka. Dan walaupun pada akhirnya rupanya jadi cantik, yang patut buat ditiru adalah kecantikan hatinya dan kesetiaannya pada Bima."

"Kamu tahu aja! Ya kalau aku sih nggak mau, kalau disuruh setia sama Bima."

"Lho kenapa?"

"Kan pasanganku bukan Bima namanya."

TERBANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang