Orionid

71 4 2
                                    

"Kau akan melihatku, saat warisan komet halley jatuh tahun depan."

Jingga masih ingat suara itu. Kalimat terakhir dari lelaki yang ia rindukan. Ia tak mengerti apa maksudnya. Yang ia tahu hanya tahun depan. Maka, ia tanya perkara itu pada sang abang yang juga pengamat angkasa.

"Oktober! Hujan meteor!" Penjelasan itu menerangkannya.

"Kau masih menunggunya? Sudah! Lupakan!" celetuk sang ayah menamparnya.

"Taksa hanya berkelakar! Cukup, Jingga!" bentak si abang yang lain mengirisnya.

Sang ibu hanya mengelus pundaknya. Mendukung. Hati ibu tak pernah salah.


Pertengahan tahun itu pun datang. Jingga tak sabar berlekas ke Oktober. Sama tak sabarnya dengan membuka sebuah pesan singkat dari Taksa.

Pergilah ke Bukit Tangga, tanggal 20 malam. Di padang rumput tempat kita menyaksikan angkasa. Kita akan bertemu di sana.


Tak menunggu hingga bulan ke sepuluh datang. Jingga pergi ke Bukit Tangga tiap akhir pekan. Membawa rindu menggebu dan melepasnya di sana. Menyaksikan para bintang berpendar cantik. Menemaninya yang tengah sendiri menanti.


Hingga kalender beralih ke 20 Oktober, Jingga berdebar. Bersiap diri menggenggam jawab. Palsu atau nyata, beberapa saat lagi akan terlihat.

Jingga memantapkan langkah di puncak Bukit Tangga. Hanya ada bisik angin dan langit cerah. Ia merebahkan diri di atas padang rumput. Terfokus pada sisi langit barat. Pada rasi orion berbintang tiga sejajar.

Tak lama kemudian, beberapa titik cahaya di angkasa pun terlihat melesat. Jingga terperangah.

"ORIONID!"

Jingga menoleh ke belakang.

Laki – laki itu tersenyum dan berjalan ke arahnya. "Hujan meteor orionid. Indah kan?"

Jingga menghambur pada Taksa.

Taksa menatap dalam pada mata Jingga. "Aku ingin melamarmu dengan Orionid."

Jingga pun dihujani cahaya meteor orionid malam itu.

TERBANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang