Part 15.1 - Maafkan Aku

Start from the beginning
                                    

"Iya, Kak. Vally juga tidak sadar kenapa Vally menanyakannya. Vally begitu kekanak-kanakan." Valeria tidak membantah.

Perkataan Kak Jean memang benar. Ia benar-benar tidak tahu diri menanyakan tentang perasaan Sean padanya. Seharusnya ia sudah bisa menyimpulkan sendiri tentang perasaan Sean tanpa perlu menanyakannya. Sean menikahinya karena menginginkan anaknya. Valeria sadar akan hal itu sejak awal dan ia melupakannya. Dan ketidaksadarannya itu hanya membuat mereka berdua terluka. Ia dan Sean.

"Kamu sendiri nggak apa-apa kan?" Amelia bertanya cemas.

"Nggak apa-apa, Ma, tadi Vally sempat cek di poliklinik bawah dan mereka bilang kandungan Vally baik-baik saja."

Amelia mendesah lega. Ia menoleh memandang Jean.

"Sudah, Vally. Berhentilah menyalahkan dirimu. Tidak akan ada manfaatnya." Jean menasehati.

"Yang penting sekarang kita semua berdoa semoga Sean tidak apa-apa dan cepat sehat kembali." Amelia menambahkan.

Valeria mengangguk.

"Jika kau masih merasa bersalah, kau temani saja Sean saat tersadar nanti tapi sepertinya kau harus bersabar menghadapinya." tambah Kak Jean. "Kau baru kali ini bertemu manusia yang membuatmu sulit mengendalikan diri ya, Vally?" Jean mengedipkan sebelah matanya dan tersenyum.

"Papamu pernah mengira kau tertukar di rumah sakit saat lahir, karena sejak kecil dirimu tidak pernah marah,Vally. Ternyata sifat keras kepala Papa juga bisa muncul padamu." Amelia tertawa.

Valeria tersenyum.

Benar...

Ia baru menyadarinya sekarang. Akhir-akhir ini ia mulai akrab dengan sifat keras kepala, seperti bukan dirinya saja.

Tapi dengan menceritakan segala keresahannya pada keluarganya membuat Valeria merasa lebih tenang. Beberapa hari ini ia terlalu sering menumpahkan air matanya.

Ia bersyukur memiliki keluarga yang selalu mendukungnya di saat apapun.

***

"Aku sudah menelepon Marinka tapi aku tidak ingin membuatnya cemas, jadi kukatakan saja Sean terkena kecelakaan ringan." Andre mengabarkan saat mereka kembali ke depan ruang ICU. "Ia akan segera kemari." tambahnya.

Amelia mengangguk-angguk mengerti.

Valeria lupa ia memiliki mertua. Oh Tuhan...mertuanya pasti akan membunuhnya... atau setidaknya mengusirnya jika tahu ia telah membuat anak kandungnya celaka. Valeria menunduk cemas.

Mamanya tampaknya mengerti dengan kecemasan Valeria tanpa perlu dijelaskan. "Jangan khawatir, Vally. Tante Marinka bukan orang yang kejam seperti anaknya. Wajahnya memang jutek, tapi percayalah hatinya baik."

Valeria mengangguk dengan tidak yakin.

Ia mengintip ruang kaca ICU. Sean masih belum tersadar setelah kelelahan menerima banyak jahitan luka di IRD. Ia terlihat tidur dengan pulas di dalam sana. Valeria menyentuh kaca ICU pelan-pelan.

Oh, Sean...seharusnya dirinya yang berada disana.

***

Sean merasa kedinginan. Ia tidak ingat berada di mana dirinya sekarang dan apa yang dilakukannya.

Ingatannya mulai muncul. Terakhir kali ia ingat dirinya mengejar Valeria yang tidak sadar bahwa ia akan diserempet mobil lalu...

Ia tersentak membuka mata sambil mengambil napas panjang-panjang.

Di mana dirinya berada?

Ia mengamati sekelilingnya.

Ia sedang berbaring dengan masker oksigen di hidungnya, jarum infus di tangannya dan beberapa kabel menempel di dadanya dan menghubungkannya dengan alat yang selalu berbunyi berisik di telinganya. Ia sudah bersih dan memakai piyama berbau desinfektan berwarna hijau muda.

Ia berada di rumah sakit. Mungkin di ruang tertentu. Pantas saja ia kedinginan. Suhu di ruangan ini cukup untuk membekukan daging. Hampir saja ia tadi mengira dirinya sudah mati dan berada di ruang jenazah.

Ia menoleh ke samping dan melihat seorang perawat dan mencoba untuk bangun.

"Ahh!!" Ia mengaduh kesakitan. Sebuah kilatan rasa sakit menyebar dari bahunya dan entah darimana lagi.

Ia segera mendapat perhatian perawat tadi tanpa perlu memintanya.

"Tenang, Pak. Ada beberapa tulang anda yang retak dan belum ditindaklanjuti. Silakan Bapak berbaring dulu, saya panggilkan dokter jaga." perawat tadi membantunya berbaring kembali.

Ia tak berdaya di rumah sakit? Yang benar saja?! Ia tidak ingin berada di sini! Sean benci rumah sakit!

Perlahan-lahan Sean merasakan sekujur tubuhnya semakin terasa sakit.

Perawat itu begitu lama memanggil dokter dan ia menderita kesakitan. Tubuhnya terasa berdenyut-denyut di berbagai tempat dan ia merasa mual. Sebentar lagi ia pasti mati!

Dalam ketidaksabarannya, perawat tadi kembali bersama seorang dokter laki-laki yang kelihatannya masih muda. Sean menatapnya cemas. Apa dokter ini masih baru? Apa ia dokter yang berkompeten? Jangan sampai ia jadi korban eksperimen dokter muda ini!

Dokter itu membolak-balik kertas yang diberikan perawat dan mencocokkannya dengan sesuatu.

"Dokter!! Semua tubuhku terasa sakit. Setidaknya lakukanlah sesuatu!" Sean mulai tidak sabar. Ia ingin membentak tapi tidak sanggup melakukannya.

"Oh..Itu hanya efek dari pereda nyeri yang habis." Dokter itu menjawab dengan santai.

Dokternya lalu memberikan instruksi pada perawat dan si perawat segera menyuntikkan sesuatu ke infusnya.

"Sudah berapa lama saya tertidur?" Sean bertanya kembali.

Dokter itu melirik arlojinya "Saat ini pukul tiga dini hari, Pak. Dan anda mendaftar di IRD tadi siang sekitar pukul dua sore."

Ternyata belum sehari. Masih banyak hal yang harus dilakukannya di luar sana. Sean berbaring kembali. Sakit pada tubuhnya sudah agak berkurang.

"Valeria...apakah dia baik-baik saja?" Sean teringat pada Valeria yang refleks ia jauhkan dari mobil terakhir kali dan naasnya mobil itu menabrak dirinya.

"Kalau maksud anda gadis berseragam sekolah yang membawa anda, dia baik-baik saja." dokter itu menerangkan.

Sean merasa lega. Sekarang tidak ada yang perlu dicemaskannya kecuali pekerjaan kantornya. Ia memejamkan matanya yang tiba-tiba mengantuk lagi perlahan-lahan.

***

Sean akhirnya mendapatkan kamar keesokan paginya.

Dokter mengatakan ia sudah agak baikan dan itu membuat Valeria dan keluarganya lega.

Pak Dira datang beberapa saat kemudian. Mungkin Sean yang meneleponnya. Ia membantu Sean duduk di kasurnya dengan hati-hati dan Sean menjelaskan beberapa hal yang harus dilakukannya.

"Valeria, sebaiknya kamu pulang dulu dan mandi. Kamu sudah disini sejak kemarin siang." Jean menegurnya.

"Tapi, Kak...Ma...aku ingin..." Valeria menoleh dan melihat Sean. Sean sedang sibuk berbicara dengan Pak Dira dan tidak mempedulikan Valeria.

"Kami tahu kau ingin menemani Sean di sini. Mumpung Sean sudah ada yang menemani, kamu pulang dulu bersama kita, Vally. Nanti setelah mandi dan makan, kami antar kembali kemari." mamanya mengelus-elus rambutnya.

Valeria merasa ucapan mereka ada benarnya. Badannya lengket akibat keringat. Sudah seharian ia tidak mandi. Ia akhirnya setuju untuk ikut.

"Sean, Papa Mama pulang dulu sama Vally. Nanti balik lagi ya." Amelia berpamitan pada Sean.

Sean menoleh dan melambaikan tangan kirinya yang baik-baik saja. "Terimakasih sudah datang."

Ia tidak menoleh pada Valeria.

Valeria merasakan firasat buruk akan hal itu tetapi ia berusaha menghapus pikiran negatifnya.

***

(END) SEAN AND VALERIAWhere stories live. Discover now